Jumat, 14 Agustus 2020

DETIK ITU

 

Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yang terlihat melintasi langit, tak ada angin sejuk yang meraba dan membelai rambutku, hanya suhu panas yang kurasakan. Yang terlihat di langit hanyalah matahari dan langit berwarna biru. Ada yang mengeluh dan mencerca cuaca seperti ini. Adzan berkumandang dengan merdunya terdengar di telinga setiap umat, suara terindah yang selalu kudengar kala 5 waktu datang. Suara yang menggugah hati orang-orang mulia, mengajaknya untuk terus menapaki jalan Allah SWT.

Adzan adalah angin sejuk yang merambah ke hati dan pikiranku. Tak ada angin, Adzan pun jadi. “Tika, bagaimana keadaanmu nak? Apa tidak merasa pusing lagi?”. Ibuku bertanya dengan suara lembut nan menyentuh relung hatiku, menambah sejuk hatiku. Oh, ibuku yang kucintai, ibuku yang selalu menasihati aku untuk selalu menjadi seseorang yang baik, soleh dan pintar. “Alhamdulillah baik bu, tika sekarang akan memenuhi panggilan itu karena Allah.”. Ibuku sangat perhatian padaku meskipun usiaku sudah 20 tahun. Selesai sholat dzuhur berjamaah di masjid aku menyelesaikan tugas kuliahku, meskipun ini hari libur aku tak akan membuang waktu ku. Aku akan pergunakkanya dengan sebaik-baiknya. Setelah tugas-tugasku kelar. Aku tidak lupa untuk makan dan meminum obat. Iya benar kenapa ibuku selalu perhatian lebih ke aku. Karena aku mengidap szikrofenia dan saat ini aku dalam masa berobat jalan. Ya memang penyakitku ini terlihat mengawatirkan. Banyak yang mengira aku udah tidak punya nyali dan tidak tangguh. Tetapi itu hanya perkiraan orang yang melihat hanya diluar saja. Siapa yang tidak berjuang. Aku banyak berjuang demi kuliah, ibuku, dan penyakitku ini beserta agamaku. Aku sakit karena sering melihat kakakku yang sering melakukan maksiat dan dahulunya aku juga sering disuruh untuk melakukan pacaran atau melakukan maksiat itu. Aku sering tidak tahan dengan tingkah kakakku ini, ingin rasanya aku membawa ibuku pergi sejauh-jauhnya hingga tak kita temukan lagi maksiat. Tapi Ibu selalu melarangku, Ibu selalu menyuruhku sabar, sabar dan sabar. Menjadi orang yang sabar menghadapi pemuda bajingan, begitu tepatnya. Kakakku yang sekarang bukan lagi kakakku yang dulu aku kenal. Dulu ia sangat baik sekali, tapi semenjak Ayah meninggal Ia jadi Brutal seperti ini. Menjadi pemuda pemabuk, dan suka main perempuan. Tak pernah Ia mendengarkan kata-kata Ibu, Ia selalu melawan, Anak durhaka.

“uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk Ibuku yang sudah lanjut usia berumur 56 tahun. “uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk ibu membuat air mataku pecah tak tertahan lagi. Kali ini Ibu angkat bicara “nak, kau menangis?” tanya Ibuku, aku tak mampu menjawab. “kenapa kau menangis? Kamu ini seorang yang pemberani, dan tak cengeng. Kenapa kamu harus menangis?” sanggah Ibu membuat aku harus membendung air mata yang mengalir di tangan Ibuku. “uhuk, uhuk, uhuk…” kali ini lebih keras. Sejenak ku menatap wajah Ibu yang meneteskan air matanya, Ia berdiri di pintu dengan pisau di tangan kananya.

Permasalahanku dimulai dari ulah kakakku. Dia mempunyai pacar dan selalu melakukan maksiat dengannya. Aku hanya bisa melihat tertegun melihat keadaan itu. Dan di siang hari yang terik ini, aku telah diperkenalkan oleh kakaku dengan seorang pemuda tampan. Kakak menyuruhku untuk kencan dengannya. Karena aku agak labil, aku menurut saja apa kata kakakku. “Tika kamu jalan saja sama si Noval” itu pinta kakakku. Aku hanya bisa menurutinya. Tanpa pamit ke ibu dahulu. Aku dan Noval jalan menuju taman ria. Awalnya memang baik-baik saja, tetapi sesaat kita pulang. Noval mengajakku ke sebuah hotel. Hotel itu bernama MELATI, aku hanya bisa menurutinya. Akhirnya akupun melakukan hal maksiat itu kepada Noval. Pulang dari itu akupun menangis sejadi-jadinya. Karena sebelumnya belum pernah aku melakukan hal itu.. Aku merasa aku bukan seseorang yang sesungguhnya. Aku ini siapa saat ini.

Keesokan harinya saat aku dikampus ”Tika…” teriak seorang gadis berjilbab berwarna biru muda, warna yang teduh. Ternyata aku sangat mengenaknya. Seorang wanita yang aku melihat dan mendengar namanya. “Zahra…!!!” teman satu fakultas denganku, anak seorang Dokter langganan Ayahku dulu sekaligus sahabat karibnya. Zahra, wanita yang cantik, pintar, baik, dan solehah. “Assalamualaikum Tika”, “walaikumsalam, ada apa Zahra? Kenapa kamu menghampiriku? Aku sedang sibuk. “Aku mau mengajakmu ikut kajian!” “Bagaimana, apakah kamu ingin ikut denganku?”  Aku pun menyanggupinya. Aku mengenal banyak hal dalam diskusi kali itu. Semua tentang agama dijabarkan dan dijelaskan secara terperinci. Sebelumnya aku jadi amat cinta sama si Noval. Walaupun banyak penjelasan dan cermah yang aku dengar.

Keesokan harinya aku mendapatkan kabar yang amat menggelegar. Noval yang katanya mencintaiku, ternyata dia sudah mempunyai istri dan satu anak perempuan. Betapa terkejutnya diriku. Lemas dan layu badan ini untuk menyangga. Akhirnya aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Ibuku hanya bisa membantuku dan menanyakan penyebab aku lemas begini. Tetapi aku tidak bisa bilang apa-apa.

Rabu, 12 November, 10.21 WIB, aku dibawah oleh 2 orang body guard dan mengajak ku kesuatu tempat. Ternyata itu tempat rumah sakit jiwa. Iya sekarang aku ditahan atau lebih tepatnya menjadi pasien rumah sakit jiwa. Disana aku linglung dan lupa akan segala hal. Patah hati ini membuat semua perasaanku kacau dan tak tangguh lagi. Hari demi hari kulewati di tempat ini. Aku menemukan banyak teman yang sejenis denganku. Banyak pula perawat dan dokter yang mendatangi, menanyaiku. Tiap hari pun aku diberi obat-obatan yang banyak dan membuatku semakin tenang. Memang aku diberi obat penenang disini. Di rumah sakit jiwa aku berusaha tegar dan selalu berdoa semoga diberi kesembuhan oleh Allah SWT.

Ibuku selalu menjenguk ku dan selalu mendoakanku akan musibah yang menimpa diriku ini. Sebulan telah berlalu aku sudah bisa keluar dari tempat itu. Saksi bisu sebuah penyakit yang menimpaku. Aku harus mampu bangkit. Aku perempuan tangguh. Aku dinyatakan bisa rawat jalan oleh dokter. Sebulan sudah aku dikurung ditempat itu, aku tidak pernah ikut kajian lagi. Sesaat aku rindu dengan teman-temanku, terutama Zahra.

Kamis, 13 Desember, 13.00. Sehabis sholat aku diajak oleh Zahra untuk ikut kajian. Zahra menjemputku dengan mobilnya. Disana aku belajar agama lagi. Belajar setapak demi setapak, mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada hidupku. Aku mau memulai perubahan dengan tidak mau melakukan pacaran lagi. Tetapi banyak yang mencemooh aku. Aku dibilang hanya pencitraan saja. Tak apalah dibilang begitu, tetapi aku tekat bulat untuk tidak melakukan maksiat itu. Aku berusaha melupakan Noval. Berusaha memaafkan kesalahan kakakku. Sejak berusaha untuk tobat, aku berusaha menjemput jodoh ku dengan menunggu dan menunggunya dalam sabar dan doa. Aku memilih untuk mengekost dekat dengan kampusku. Aku juga berjuang dengan sekuat tenaga untuk melawan penyakitku. Kalau disaat penyakitku kambuh aku bisa berhalusinasi dan delusi. Aku tidak mau penyakit itu muncul lagi dihidupku. Aku mendekatkan diri kepadaNya.

Hari demi hari kulalui, banyak peristiwa terjadi silih berganti. Sesaat aku teringat teman-teman yang berada didalam rumah sakit jiwa. Banyak peristiwa yang mereka alami. Sehingga membuat dia jatuh dan terguncang jiwanya. Misalnya Reni, ia terguncang saat rumahnya terbakar hebat dan meluluh lantahkan rumah beserta isi dan anak-anaknya. Reni syok dan menjadi gila karena kurangnya ikhlas dan keimanan yang dia punya. Ada lagi Tommy, dia ditinggal Istrinya dan kedua anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia melakukan mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Sesaat direhabilitasi di rumah sakit jiwa, dia kesulitan untuk berjalan dan menelan makanannya. Ada teman aku Sintya, dia kejiwaan kekurangan kebahagiaan di masa kecilnya. Ia seakan lupa ingatan dan hanya ingat masa kecilnya. Dia selalu menyanyi lagu anak-anak dan berperilaku selayaknya anak kecil. Itulah yang aku ingat teman-temanku selama di dalam ruang rehabilitasi rumah sakit jiwa.

Senin, 17 Januari, 15.00 Aku pulang ke rumah. Aku buku pintu rumahku yang seperti tak terawat lagi. Aku ucap salam, tak dijawab. Aku panggil Ibu, Ibu, Ibu. Tak ada jawaban. Ku ulang lagi. Aku mendengar suara tangisan kecil dari arah belakang, Aku berjalan ke belakang. Dan… Pemandangan yang mengerikan kulhat di sudut ruangan, seorang pemuda kurus kering, mata cekung, rambut panjang acak-acakan, dan tak memakai baju, hanya celana. Menekuk kakinya dan memeluk lututnya, Ia terus menangis. “Kakak.” “kakak, kau kenapa? Ibu dimana?” Aku bertanya berulang kali tetap tak Ia jawab. Baru Aku sadari bahwa kakakku gila dan buta. Aku sedih. Aku bawa kakakku ke rumah sakit jiwa, tempat dimana aku dirawat dahulu. Aku pergi ke rumah Zahra, Aku bertanya pada Zahra dimana Ibu. Dia hanya diam seribu bahasa, hanya matanya yang berkaca-kaca. Aku harus tegar menghadapi semua ini.

CiCi

 

Perkenalkan Namanya cici. Dia hidup berdua dengan ayahnya, ibunya telah meninggal kecelakaan 2 tahun yang lalu. Dia sering sedih sendiri semenjak ditinggalkan ibunya. Cici duduk dibangku smp kelas 3. Dia tidak mempunyai teman sama sekali dia kebanyakan dirumah Bersama ayahnya. Cici bangun tiap pagi  dengan bangun badannya tdk enak semua. Emang cici dilanda depresi sejak kelas 1 smp. Ayahnya memasakan tahu bulat ke cici sore itu. Cici hanya merindukan ibunya. Cici menangis sepanjang hari, entah knp cici sedih sekali menangis melulu..

 

Cici tambah sedih hatinya setelah pertengkaran dengan ayahnya. Iya dibilang ayahnya kamu itu anak pungut, bukan anak mama papa. Jadi km jangan sedih sekali atas kematian mamamu itu sampai sampai km sakit sakitan begini. Tambah sedihlah cici. Dia harus mengadu ke sapa.

Cici ingin sekali mencari ayah dan ibu kandungnya. 

 

Cerita dia tertarik dengan ayah dan ibu kandungnya, dia pergi dengan tabungannya yg ia simpan selama ini untuk pergi ke Jakarta. Menurut kabar yg ada orang tua kandungnya tinggal di Jakarta dan ia kaya raya dan terkenal.

 

Gimana dengan ayah tirinya, ia tinggalkan begitu saja. 

Saat ke Jakarta ia memikirkan kenapa dia diberikan ke keluarga lain. Kenapa tidak diasuh sendiri. Antara sedih dan Bahagia dia merenung ingin bertemu orang tua kandungnya.

 

Ayah tiri mengikhlskan cici untuk pergi ke Jakarta, agar urusannya lancar.

 

Apa yg terjadi setelah sampai Jakarta. Dia tidak diakui orang tua kandungnya, dia diusir disuruh Kembali ke keluarga di kampungnya. Cici tidak menyangka karena dia anak haram dia jadi begitu nasibnya. Tidak diakui orang tua kandungnya sendiri.

 

 

Selidik punya selidik. Orang tua sahnya cici menikah legal dan punya anak perempuan. Dan itu jauh setelah peristiwa cici diasuh ortu tirinya. Semenjak saat itu cici Kembali ke kampung halaman dan mendampingi ayah tirinya. Toh selama ini yg biayai hidup cici si ayah. Ya akhirnya ayah dan cici rukun lagi.

JODOHKU DI TAHUN INI

 

Apa yang paling menyebalkan dari saat berkumpul dengan keluarga kalau bukan ditanya soal pernikahan. Sudah ada calonnya? Kapan mau menyusul adikmu? Jangan lama-lama loh nanti diambil orang. Ahh, aku hampir jenuh mendengarnya. Sekali dua kali masih bisa kusangkal dengan alasan versi aku, lama kelamaan menjawab dengan senyum pun sepertinya sudah tidak ampuh lagi. Ibu yang biasanya tenang-tenang saja pun sekarang mulai senang menyindir soal jodoh. Sekarang setiap kali pulang dari undangan teman atau kerabat, ibu akan segera bercerita tentang si ini yang sudah punya anak atau si itu yang sudah punya cucu. Rasanya semua orang sedang menerorku sekarang.

“Jodoh itu kan ditangan Allah, Bu”, aku mengeles lagi kali ini.

“Iya, dan akan tetap di tangan Allah kalau kamu tidak memintanya”, jawab ibu sambil menyemai tanaman hiasnya. Aku menyeruput teh pahit yang sudah hampir dingin ini. Pahit dan dingin, seperti hatiku. Wanita mana yang tidak ingin menikah, memiliki pasangan, menjadi istri sekaligus ibu. Aku tahu semua itu sangat menyenangkan. Ada banyak alasan mengapa aku belum ingin menikah sampai di usia penghujung kepala dua ini. Ketiga kakakku sudah menikah dan rumah tangga mereka tampaknya tidak berjalan mulus. Kak Rin ditinggal suaminya yang harus mengabdi menjadi guru di daerah tertinggal, terpaksa ia membuka kios kue kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kak Hani dengan ikhlasnya rela dimadu oleh suaminya dengan alasan menolong janda beranak empat yang terlantar. Dan yang diatasku, Kak Amia sepertinya menikmati penderitaan hidupnya dengan suami yang berpenghasilan lebih kecil daripada dirinya. Mereka bertiga sebenarnya tidak pernah mengeluh, malah sebaliknya. Tapi bagiku, apalah enaknya menjalani rumah tangga seperti itu. Dan yang paling menyesakkan adalah saat adikku, Rasti memilih untuk melangkahiku. Dia cukup berani mengambil keputusan itu.

Aku pamit kepada ibu dan segera berangkat ke kantor. Aku bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah keluarga. Sekarang kantorku mendadak ikut menerorku juga, karena rekan-rekan di kantor senang meledekiku “Editor di majalah keluarga kok belum bekeluarga sih?”, begitu kata mereka. Sebenarnya ledekan itu sudah menjadi barang biasa di kantorku tapi akunya saja yang sedang sensitif mendengarnya.

“Kenapa, Wa? Masih galau soal yang kemarin lagi?”, Della menghampiri mejaku sambil memberikan tulisan yang akan ku edit. Aku mengangguk. Della adalah sahabatku sejak di bangku kuliah, dan dia tahu betul permasalahanku ini. Della bukan tak perduli, tapi ia mengerti sifatku yang tak suka dicampuri soal urusan pribadi. Ujung-ujungnya dia cuma akan menasehatiku untuk memperbaiki diri. Maklumlah, Della yang memiliki suami seorang ustadz itu selalu menyurhku untuk meningkatkan ibadah jika ingin mencari jodoh yang baik.

“Sholatku sudah tidak bolong-bolong lagi kok, Del”, terangku padanya. Della menarik kursinya dan duduk di sebelahku.

“Kamu coba deh tambah dengan amalan sunnah, kayak sholat Dhuha. Karena sholat Dhuha akan melancarkan rezeki seseorang. Termasuk soal jodoh”. Kali ini perkataan Della kumasukkan dalam hati. Benar, mungkin yang wajib saja tidak cukup, mungkin Allah menginginkanku untuk lebih dekat lagi pada-Nya.

“Dan satu lagi! Jangan banyak milih, cantik…”, Della menjawil hidungku. Dia segera menarik kursi menuju meja kerjanya. Della ini sok tau! Aku tidak banyak memilih kok. Tapi aku tidak ingin merasakan apa yang dirasakan ketiga kakakku, jadi wajar saja aku lebih selektif dalam memilih pasangan. Aku ingin seorang lelaki yang pintar untuk menjadi ayah bagi anak-anakku kelak, aku juga ingin lelaki yang berpenghasilan mapan karena kelak aku tidak ingin menjadi ibu dan istri yang sibuk bekerja sampai meninggalkan kewajibanku. Lebih baik aku menjadi ibu rumah tangga saja, tak apa tak berkarir asal dia mampu menghidupi keluarga. Hemm, aku juga tak ingin yang terlalu tua walaupun aku tahu lebih besar kemungkinanku untuk medapatkan yang tua ketimbang yang masih muda. Maklumlah, resiko lama menikah. Tapi adakah yang sepaket lengkap seperti ini? Aku tak begitu yakin sebenarnya.

Saran Della mulai kujalankan. Mulanya memang malas-malasan untuk mengerjakan sholat Dhuha yang hanya dua rakaat itu. Tapi aku tahu ini pasti pekerjaan setan yang menggodaku untuk bermalas-malasan sehingga semakin menjauhkan aku dari impianku. Dengan segenap hati kuangkat takbir menyerahkan diri kepada Rabb-ku. “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu kegelisahan ini. Dan Engkau tahu yang terbaik untukku”, batinku manakala berdoa selesai sholat Dhuha. Dengan tidak segan kucurahkan semua kegalauanku kepada-Nya, tak malu pula aku pintakan jodoh yang sesuai dengan impianku. Toh, Allah menyuruh kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, lantas apa salahnya kupinta seseorang itu?

Seminggu saja kujalankan, rasanya ada yang berbeda dengan hidupku. Lebih lapang, lebih tenang, lebih nyaman, lebih… Ahh, lebih baik coba rasakan sendiri. Soal jodoh itu pun tak ku pusingkan lagi karena semakin lama semakin ku pasrahkan kehadirat Allah Ta’ala.

Ini sudah hari kesepuluh kuamalkan sholat Dhuha dengan rutin. Belum selesai melipat mukena, Della yang baru siap berwudhu menghampiriku. Dia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan daerah. Katanya ia harus bertemu temannya, seorang dosen sekaligus praktisi bidang psikologi yang akan diminta untuk mengisi rubrik konsultasi keluarga di majalah kami. Aku mengiyakan saja, mumpung aku sedang tidak ada kerjaan karena editanku sudah kuserahkan kepada redaktur barusan.

Selepas Della sholat, kami segera berangkat dengan mobilnya ke perpustakaan daerah. Jalanan sedikit macet, aku menggerutu dalam hati.“Aneh sekali, ketemuan di tempat lain saja kenapa rupanya?”. Aku bertanya tentang calon pengisi rubrik ini. Kata Della namanya Hana, teman kecilnya dulu. Mengambil S1 dan S2 di luar negeri kemudian kembali ke tanah air dan memilih menjadi dosen sekaligus praktisi. Hana pasti sangat cerdas. Ya, aku beberapa kali mendengar cerita soal temannya yang bernama Hana dari Della dan aku pikir mereka memang cukup dekat hanya saja baru kali ini aku berkesempatan menemuinya.

Sesampai di perpustakaan yang ditunggu belum tiba. Jadilah aku dan Della yang suka melahap buku ini menjelajahi isi perpustakaan. Hampir lima belas menit kemudian barulah Della dihubungi oleh Hana kalau ia baru saja sampai. Della segera menemuinya sedangkan aku masih asyik dengan bacaanku. Tak lama berselang, Della memanggilku.

“Yang mana Hana?”, tanyaku sambil melihat sekeliling perpustakaan yang sepi. Tak ada sosok wanita di sekitar sini. Della tertawa.

“Ini Hana, lengkapnya Hanafi. Aku terbiasa memanggil nama kesayangan ibunya itu”

Mataku membelalak. Bukan karena tak percaya bahwa Hana yang dimaksud adalah lelaki, tetapi sosok Hanafi ini seperti…seperti… Seperti jodoh yang aku pinta! Ya Allah, inikah sepaket lengkap yang sempat kuragukan keberadaannya itu? Inikah orangnya? Hanafi tersenyum kepadaku. Ia mengenalkan dirinya sambil menangkupkan tangan di dada. Aku membalas dengan cara yang sama. “Hilwa”, kataku.

Sepanjang pembicaraan Della dan Hanafi, aku lebih banyak diam. Ribuan pertanyaan menggebu-gebu di dalam pikiranku. Inikah jawaban dari sepuluh Dhuha ku? Hanafi kah orangnya? Bagaimana mungkin ada orang sesempurna pintaku? Tapi siapa Hanafi? Bagaimana kalau dia sudah menikah? Ahh, perasaan apa ini. Mungkin Hanafi pun tak tertarik melihatku. Dia masih terlihat sangat muda, gagah dan… sedikit tampan. Ehm, bukan. Tapi memang cukup tampan. Ya, Allah… bagaimana ini?

Aku mengaduk teh dalam gelas lagi. Kali ini teh manis yang hangat. Seperti suasana hatiku yang sedang dipenuhi kemanisan dan kehangatan. Tangan yang kekar melingkar di bahuku dengan penuh kelembutan. Dia menggelayut manja sementara aku kegelian. Aku memukul tangannya dan dia menjerit pelan.

“Jangan marah-marah dong, nanti cepat tua”, katanya.

“Memang aku sudah tua”, jawabku pura-pura ketus. Hanafi tertawa lepas.

Sejatinya aku memang lebih tua darimu, Mas… Mas Hanafi. Sejak pertemuan kita hari itu kau tahu? Aku semakin memperbanyak rakaat sholat Dhuhaku. Di tengah malam kutambah lagi dengan Tahajjud yang panjang dan penuh cucuran airmata. Saat itu aku merasa Allah sedang menunjukkan kepadaku bahwa aku tak boleh meragukan-Nya. Aku menangis di sepertiga malam memohon ampun karena sempat meragu dengan kedatangan jodohku, tak lupa ku pintakan jalan keluar karena hati ini terlanjur terpikat padamu.

Tak ada lagi cerita tentang dirimu dari Della, sedang aku malu berkata. Sampai hari itu, dua bulan setelah pertemuan kita kau datang mengutarakan niatmu untuk melamarku. Di depan orangtuaku kau tunjukkan kesahajaanmu yang pada akhirnya meyakinkan mereka untuk menerima dirimu sebagai menantu. Kau tahu? Itu adalah sholat Dhuha ke-93 yang aku laksanakan. Dan hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku.

“Masih suka menghitung sholat Dhuhamu?”, tanya mas Hanafi. Dia sepertinya suka saat mendengar cerita Della tentang perjuanganku menjemput jodoh. Terutama cerita tentang sepuluh dhuha itu. Sepuluh hari dengan sholat Dhuha yang mengantarkan pada pertemuan pertama kami.

Mas, akan ada seratus, seribu bahkan sejuta Dhuha lagi. Bukan untuk meminta yang lebih baik lagi darimu, tapi meminta engkau dan aku yang lebih baik. Untuk kehidupan kita yang lebih indah, di bawah naungan keridhoan Allah.

Jika sepuluh Dhuha itu bisa memberikanku kebahagiaan seperti ini, maka aku berkenan untuk terus melaksanakannya lagi ya Rabb.

Minggu, 18 Agustus 2019

asing

dinginnya malam menusuk tulang tak menghiraukan tetesan air mata dipipi.
paras tampan nan rupawan hanya bias bayang bayang kelam, masa lalu biarlah masa lalu. Jangan pernah hidup didalamnya.  kekalutan ini menjadi boomerang untuk kehidupanmu. tak peduli apapun itu kau harus tegap berdiri. melawan segala kegundahan di hati yg merupakan penyakit yg dapat menusuk kalbu. kamu tdk hanya sendiri di dunia ini. masih banyak orang susah,menderita dibanding kamu. bersyukurlah. masalah cinta. biarlah yg dtg dan pergi menjadi proses pembelajaran lebih dewasa. kamu tdk tau masa lalu seseorang itu. dia orang yg benar benar asing dan datang dengan tujuan apa kamu pun tak mengerti. jangan buat masalah baru tika. SEWAJARNYA SAJA!

Selasa, 06 Agustus 2019

Depression




Why Depression Makes People Angry, According to Science

according to the World Health Organization (WHO), over 300 million people worldwide suffer from depression. It is the leading cause of disability globally and, at its worst, can lead to suicide. However, there are effective treatments for depression, including prescription medications and therapy. Common symptoms include:

A loss of energy

A change in appetite

Sleeping more or less

Anxiety

Reduced concentration

Indecisiveness

Restlessness

Feelings of worthlessness, guilt, or hopelessness

Thoughts of self-harm or suicide

You might notice that anger isn’t on the list of common depression symptoms, but some sufferers do become angry as part of their disorder. In this article, we will go over why exactly people with depression might feel angry, and how they can deal with this feeling

Let’s discuss why depression can make people feel angry.

THE ROLE OF ANGER IN DEPRESSION

“I’m exhausted from trying to be stronger than I feel.” – Unknown



HOME

LIFESTYLE

INSPIRATION

HEALTH

Subscribe to our newsletter

Why Depression Makes People Angry, According to Science

DEPRESSION

According to the World Health Organization (WHO), over 300 million people worldwide suffer from depression. It is the leading cause of disability globally and, at its worst, can lead to suicide. However, there are effective treatments for depression, including prescription medications and therapy. Common symptoms include:

A loss of energy

A change in appetite

Sleeping more or less

Anxiety

Reduced concentration

Indecisiveness

Restlessness

Feelings of worthlessness, guilt, or hopelessness

Thoughts of self-harm or suicide

You might notice that anger isn’t on the list of common depression symptoms, but some sufferers do become angry as part of their disorder. In this article, we will go over why exactly people with depression might feel angry, and how they can deal with this feeling.

Let’s discuss why depression can make people feel angry.

THE ROLE OF ANGER IN DEPRESSION

“I’m exhausted from trying to be stronger than I feel.” – Unknown

According to an article on the National Center for Biotechnology Information website, depression is much more than just sadness. Some people with depression do present with overt or suppressed anger. Pharmacological treatment can help greatly with depression, but medication doesn’t really address anger associated with depression.

However, cognitive behavioral therapy (CBT) has been known to be effective in both depression and anger management. Still, it isn’t often used in cases where anger is a symptom of one’s depression. Several clinicians have posed that difficulties in dealing with anger play a role in the onset and persistence of depression, and the illness has been described as a “kind of self-directed anger.”


This makes sense because many people with depression suffer from low self-esteem and poor self-image, and these feelings can lead to a lot of internal anger.

However, people who have depression are often not just angry with themselves; they are angry with the world. Depression sufferers tend to have a negative worldview, which can lead to feelings of rage due to not being able to change the global challenges we all face.

DEPRESSION AND THE FIGHT-OR-FLIGHT RESPONSE

In a sense, depression occurs when people begin to lose hope in the world and feel that they cannot make a difference. This can sometimes lead to apathy and sadness, but it can also lead to anger. When someone on Quora asked “Is getting angry when I feel sad normal since I have depression?” Tracy Jensen, a Quora user, answered it perfectly:

“Humans are biologically predisposed to respond to stress with a fight or flight response. Stress can be almost any form of threat, from actual fear, to something that makes us feel vulnerable. Sadness is a very vulnerable feeling. Often with depression, the response can be to withdraw, which is on the “flight” side. But it is very normal to become angry instead. This is the “fight” response. You see the same thing happen when someone hurts your feelings. It is painful, but being hurt/sad is a vulnerable response, and often anger, the more powerful response, takes over.”

So, getting angry could be our natural fight response to depression. Sometimes, people with depression feel so fed up with themselves and the world that they decide to lash out, either verbally or physically. In fact, Sigmund Freud used to conceptualize depression as anger turned inward.

Clinical psychologist Lisa Firestone has worked with depression patients for over 30 years and witnessed the common struggle her clients face when it comes to dealing with anger. She says that many of her patients don’t recognize the negative way they treat themselves and that they are more critical of themselves than they are of others.

INNER VOICES

Dr. Firestone goes on to say that people with depression usually have “critical inner voices” that make them feel even more unworthy and shameful. In other words, they have to fight with their minds every single day, which can cause them to lose the battle against this condition. The “demons” within the mind of a depression sufferer can make a person get angry and lash out against themselves and others.

There are two types of anger: maladaptive and adaptive anger. Adaptive anger motivates you to take action against something that causes you pain or suffering. For example, if you recognize the harsh inner critics in your mind and express that anger through a creative outlet, you are doing something to direct and respond to that anger. However, maladaptive anger can lead a depression sufferer to sulk and draw inward. Firestone believes this response occurs because of traumatic experiences in our past.

In other words, a person suffering from depression might become angry due to not knowing the right ways to express their anger. Maybe their parents didn’t teach them how to deal with their emotions, or maybe the parents had anger issues themselves that they directed at their children. This might’ve led the children to hide their emotions as an act of survival.

One 2016 study found that anger as a symptom of emotional disorders has “negative consequences, including greater symptom severity and worse treatment response.” Researchers concluded that “based on this evidence, anger appears to be an important and understudied emotion in the development, maintenance, and treatment of emotional disorders.”

HOW TO COPE WITH BECOMING ANGRY DUE TO DEPRESSION

As you can see, depression is a complex illness and can be caused or exacerbated by a variety of situations and experiences. In Dr. Firestone’s therapy sessions, she gets people to understand their self-directed anger by having them address themselves in the second person. The client will verbalize their thoughts so they can start to get insight on where these thoughts come from and become an observer of their thoughts rather than the instigator.

She says talking to themselves in the second person shows them how it would feel if someone else were telling them the negative thoughts, and helps them have more self-compassion. Externalizing the negative thoughts and anger can help us to have a more compassionate stance toward ourselves and begin seeing ourselves as a friend rather than an enemy. However, this doesn’t mean we should be in denial about our problems, but rather, start to embrace self-love as a way of dealing with our problems.

THE IMPORTANCE OF SELF-COMPASSION

According to researcher Kristin Neff, self-compassion involves three main elements: self-kindness, mindfulness, and awareness of common humanity.

Research has shown that self-compassion can greatly reduce feelings of depression. Another study found that maladaptive beliefs can lead to depression. When self-compassion helped alleviate these negative thoughts, the relationship between the depression and critical thoughts lessened. This same study concluded that “… the self-kindness component of self-compassion” helped moderate “the irrational belief-depression relationship.”

So, one way of dealing with feeling angry due to depression is to analyze your negative self-directed thoughts and figure out where they come from. Then, begin seeing yourself as a friend, and think about how you would feel if a friend spoke poorly of you. As you start to develop a real friendship with yourself and practice self-love and compassion, you’ll notice the negative thoughts start to die down.

This doesn’t mean you should deny your emotions. Rather, try to detach yourself from your thoughts and become an observer of them. This will show you that your thoughts don’t have as much power over you as you might’ve thought previously.

OTHER WAYS OF COPING WITH ANGER

In addition to self-compassion, there are a few ways to channel anger:

Exercise: Moving your body is a wonderful way to release endorphins and lower stress levels, which will help balance out your mood and eliminate negative feelings. When we’re stagnant, we begin to dwell on the thoughts in our heads, but movement helps to counteract this fixation and give us a place to channel our energy.

Journal: Getting out those negative emotions in a creative way can help you gain a new perspective about your anger. Writing down your thoughts can allow you to figure out where your anger comes from. It can aid you in determining how to manage it better.

Talk to someone: As we hinted at above, getting professional help is nothing to be ashamed of. Talking about how you feel with a therapist or loved one can lift the weight off your shoulders. They may help you find safe outlets for your emotions.


FINAL THOUGHTS ON WHY DEPRESSION MAKES PEOPLE ANGRY

Feeling angry due to depression is normal, though it is less commonly talked about than other symptoms of depression such as a persistent feeling of sadness and fatigue. Anger is a natural response to stress. When your body is in “fight” mode, it wants to find a solution for that feeling. Listen to your body and figure out the source of the stress.

Denying your feelings or trying to hide them will only make the symptoms worse. Bottling it all up will likely lead to an explosion of emotions later on. Self-compassion, exercise, journaling or some other creative activity, and talking to a loved one or therapist can help you figure out why you feel angry. These steps can also aid you in learning how to cope.

Psikosomatis


Artikel
Monggoh yg berkenan membaca

Masalah Psikosomatis, Masalah Manusia Modern


Sepuluh tahun sudah saya menjalani praktek sebagai psikiater. Sejak tahun 2008 saya menjalani profesi ini. Awalnya saya menerima segala macam jenis pasien, anak, dewasa dan orang tua.

Namun sejak 2010 sepulang dari mengikuti pelatihan di American Psychosomatic Society saya kemudian memutuskan untuk lebih banyak fokus pada pasien-pasien yang mengalami psikosomatik.

Psikosomatik sendiri adalah istilah untuk merujuk pada kondisi gangguan fisik yang terkait dengan masalah psikologis. Sejak lama sebenarnya masalah psikosomatik ini dikenal.

American Psychosomatic Society sendiri berdiri di tahun 1934 dan sejak saat itu penelitian di bidang psikosomatik terus dikembangkan. Jaman sebelum bidang neurosains berkembang seperti sekarang, dokter masih sulit menjelaskan tentang bagaimana seseorang bisa mengalami psikosomatik.

Pasien biasanya kebingungan mengapa dirinya mengalami berbagai macam gejala fisik namun pemeriksaan medis tidak menemukan adanya masalah berarti pada organ yang mengalami gejala fisik tersebut.

Jauh sebelum neurosains bisa menjawab permasalahan yang terjadi pada pasien psikosomatik, kita hanya mengira bahwa kondisi psikosomatik disebabkan oleh stres.

Namun bagaimana stres tersebut dan apa jenis stres yang menyebabkan psikosomatik masih tanda tanya, sampai akhirnya saat ini begitu banyak penjelasan terkait bagaimana stres bisa mempengaruhi terjadinya psikosomatik.

Masalah psikosomatik terjadi lebih sering dikaitkan dengan masalah ketidakseimbangan sistem saraf otonom yaitu saraf parasimpatis dan simpatis. Stres yang menyebabkan gangguan psikosomatik yang berlangsung lama biasanya stres yang bersifat kronis atau menahun.

Kondisi stres yang akut atau yang tiba-tiba biasanya menimbulkan gejala psikosomatik sesaat. Contohnya saat kita menghadapi ujian atau wawancara kerja, sebagian dari kita mungkin merasa ingin buang air terus menerus atau menjadi keluar keringat dingin.

Aktifitas berlebihan saraf otonom inilah yang menyebabkan gejala fisik terjadi walaupun tidak sampai membuat kerusakan organ.

Itulah mengapa pada pemeriksaan fisik hanya tergambar gejala pasien saja misalnya jantung berdebar tetapi jika dicek dengan EKG misalnya tidak ada masalah di jantungnya selain jantungnya berdebar-debar itu.

Selain jantung keluhan yang paling seirng dialami pasien yang mengalami psikosomatik adalah keluhan lambung.

Ini disebabkan karena adanya aktifitas saraf otonom parasimpatis yang terlalu berlebihan sehingga sering kali menimbulkan gejala kembung atau merasa tidak nyaman dikaitkan dengan hipersensitif saraf lambung sehingga sering mengalami gejala mirip gastritis seperti perih.

Selain pengaruh ke saraf otonom, masalah stres baik akut maupun kronis juga mempengaruhi sistem Hipotalamus Pituitary Adrenal Axis (HPA Axis) yang menghasilkan kortisol sebagai hormon stres.

Hormon stres ini bersifat melemahkan tubuh, membuat oksidasi tubuh menjadi berlebihan, mempengaruhi kerja hormon lainnya, dan sering kali menimbulkan penurunan imunitas tubuh.


Inilah yang menyebabkan pada pasien psikosomatik sering terjadi keluhan kelelahan yang berlebihan, kesulitan tidur dan gangguan imunitas yang membuatnya mudah sakit.

Kortisol sebagai hormon stres memang dalam jumlah sedikit diperlukan tubuh untuk aktifitas namun jika berlebihan akan mengganggu fungsi tubuh.

Manusia Modern Rentan Psikosomatik

Manusia modern yang hidupnya sarat dengan stres yang dia sadari atau tidak sebenarnya sangat rentan mengalami psikosomatik. Hal ini disebabkan karena hampir dalam setiap kehidupannya manusia modern terpapar stres baik dari sisi fisik maupun psikologis.

 Bayangkan keluar rumah dengan tingkat polusi yang tinggi juga adalah membuat stres. Belum lagi ritme pekerjaan yang ketat dan dipenuhi tenggat waktu membuat manusia modern lebih mudah stres.

Dulu nenek moyang purba kita stres karena menghadapi binatang buas, saat ini manusia modern stres karena menghadapi kemacetan dan beban kerja yang tinggi. Kondisi ini sayangnya berlangsung kronis atau bertahun-tahun sehingga akhirnya menimbulkan masalah jika adaptasi manusia tersebut tidak baik.

Masalah adaptasi memang menjadi sumber masalah utama. Tidak semua mudah untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat dan tuntutan akan hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah yang membuat pasien psikosomatik sering kali kesulitan untuk mengatasi keadaanya sendiri dan akhirnya berkunjung ke banyak dokter untuk mengurangi gejala fisik yang tak kunjung sembuh.

Terapi Untuk Pasien Psikosomatik

Pasien psikosomatik membutuhkan pendekatan fisik dan psikologis. Tentunya jika sudah mengalami gejala psikosomatik tidak langsung diminta berpikir positif langsung baik gejalanya

Aktifitas saraf otonom yang berbihan yang sudah lama dialami perlu segera distabilkan. Pengobatan dengan obat antidepresan dan sedikit anticemas bisa membantu.


Namun pengobatan dengan obat tidak akan banyak membantu atau hanya bersifat sementara jika tidak dibantu dengan perubahan pola hidup menjadi lebih sehat atau lebih baik lagi dalam adaptasi diri.

Kesulitannya adalah pola perilaku sehat yang mau dibentuk terhalang dengan masalah keseharian yang sering kali datang dan sepertinya sulit diadaptasi.

Inilah masalah kompleks untuk mengatasi psikosomatik. Di satu pihak gejala mungkin membaik dengan pengobatan dan bisa membaik terus sampai beberapa bulan bahkan tahun, namun kemungkinan kambuh masih ada.

Saya pernah meminta pasien mengurangi pekerjaan yang membuatnya stres berkepanjangan, pasiennya malah agak kesal karena menganggap dia tidak bisa meninggalkan apa yang sedang dia jalankan.

Padahal saat di awal terapi dan saya minta untuk mengurangi beban kerja dan dia melakukan, keadaan gejalanya membaik dengan segera. Inilah dilema manusia modern. Ingin banyak yang dilakukan tetapi sebenarnya otak tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut.

Saya pikir tantangan ke depan terkait kasus psikosomatik di praktek akan semakin banyak seiring dengan semakin kompleknya kehidupan serta kondisi stres manusia yang sering sukar ditangani dirinya sendiri karena ketidakmampuan mengatasi kondisi kesehariannya.

Semoga kita semua akan menjadi orang yang lebih baik lagi ke depannya termasuk dalam pengendalian stres.
Salam Sehat Jiwa

Rendah diri


Saat ini tika mempunyai rasa rendah diri dan kecemasan berlebihan tentang pernikahan, artikel ini mungkin bisa membantu...


Curhatan seseorang :
 Saya Tidak Berani Memiliki Keinginan untuk Menikah
"Saya nggak begitu yakin, tapi rasanya saya memiliki sedikit kecemasan berlebih terkait self-esteem yang kemudian berhubungan dengan masalah percintaan. Saya mudah hanyut dalam pikiran-pikiran tentang masa depan. Saya bahkan sudah merencanakan karir, pendidikan dan investasi masa depan saya meskipun masih duduk di bangku perkuliahan. Tentu sebagai manusia, sudah menjadi naluri untuk memiliki keinginan menikah dan melanjutkan keturunan. Sayangnya, entah kenapa saya tidak berani membayangkan sebuah pernikahan dalam hidup saya. Saya merasa pernikahan adalah sesuatu yang sulit saya jangkau...
...karena itu, beberapa malam ini sebelum tidur saya sering kepikiran dan berujung menangis tanpa sebab yang jelas. Ada banyak alasan kenapa saya tidak berani memiliki keinginan menikah. Pertama, saya merasa diri saya tidak menarik. Secara pribadi saya memiliki self-love yang cukup tinggi, namun saya juga sadar jika menurut standar orang kebanyakan, penampilan saya tidak menarik sama sekali. Kulit saya gelap dan saya mencoba berdamai dengan kenyataan itu. Tapi setiap saya mencoba untuk lebih percaya diri, teman saya yang cantik dan memiliki kulit terang selalu mengatakan kalau dia semakin jelek ketika kulitnya menggelap sedikit karena aktivitas outdoor...
...dari situ terkadang yang membuat saya sadar kalau menurut standar kebanyakan, fisik saya tidak menarik. Kepribadian saya pun, meskipun saya nyaman menjadi diri saya sendiri, mungkin bagi banyak orang tidak terlalu baik. Saya cenderung ceria, cukup bisa menempatkan diri, tapi saya tidak bisa memaksakan diri menjadi perempuan kalem yang dewasa. Saya merasa laki-laki yang baik akan mencari perempuan baik dan saya tidak sebaik itu. Sementara itu, laki-laki kebanyakan akan mendahulukan penampilan fisik lebih dulu. Saya ragu tentang apakah suatu hari akan ada laki-laki yang mau dengan saya...
...untuk menghibur diri, saya sering meyakinkan diri bahwa saya akan tetap baik-baik saja meskipun hidup sendiri sampai tua. Yang kedua, meskipun kehidupan pernikahan orang tua saya relatif baik-baik saja dan minim masalah serius, tapi saya merasa ada masalah komunikasi kecil tapi penting. Ayah saya sering mengesampingkan pendapat ibu saya dalam banyak hal (tidak di semua hal, sih). Untung saja ibu saya memang orang penyabar. Nah, saya merasa saya tidak akan bisa seperti ibu saya. Meskipun masalah itu belum tentu dialami oleh semua orang, tapi saya seperti tidak akan pernah siap untuk memiliki hubungan yang membuat saya 'makan hati', entah karena persoalan apa pun...
...selain itu, saya merasa setiap hubungan menantu-mertua, senormal apa pun, pasti akan tetap ada konflik meskipun tidak ditunjukkan secara frontal. Apalagi dengan banyak bermunculan kasus-kasus perceraian yang dialami tetangga atau kenalan, walaupun tidak dialami keluarga saya, tapi mendengar kasus-kasus itu membuat saya cemas dan takut hingga merasa skeptis dengan pernikahan. Kalau menurut teman saya, pemikiran saya ini cukup berbahaya karena menyalahi agama dan kodrat. Tapi mau bagaimanapun saya mengatasi pemikiran-pemikiran itu, ketakutan saya semakin terasa nyata. Saya ingin bisa mengatasi ketakutan-ketakutan itu...
...jika memang saya tidak ditakdirkan untuk menikah, setidaknya saya ingin menghilangkan ketakutan-ketakutan saya terhadap pernikahan. Ngomong-ngomong, sebenarnya saya juga memiliki keinginan untuk menikah, tetapi keinginan itu selalu kalah dengan ketakutan-ketakutan yang muncul, ketakutan-ketakutan bahwa pernikahan saya nanti tidak akan berjalan lancar. Berhubung saya masih mahasiswa, tentu pemikiran tentang pernikahan ini terasa terlalu dini. Tapi saya berpikir kalau bisa diatasi lebih awal, tentu lebih baik. Terima kasih karena sudah diijinkan untuk bercerita."
(Gambaran: Perempuan, 20 Tahun, Mahasiswa)
Jawaban Pijar Psikologi
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas kepercayaanmu untuk bercerita di Pijar Psikologi.
Rasanya begitu khawatir ya kamu ketika dihadapkan dengan segala ketidakpastian di masa depan. Kadang kala cemas rasanya jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, atau bahkan ada rasa takut jika nantinya akan merusak ekspektasi orang lain. Padahal, kamu ingin sekali rasanya berdamai dengan segala kekhawatiran, kecemasan, atau ketakutan tersebut, agar dapat lebih percaya diri dalam menjalani setiap aktivitas. Namun sebelum saya membahas secara lebih detil, saya benar-benar menghargai kemampuanmu menyadari segala perasaan yang masih bercampur aduk tersebut, dan bisa bertahan hingga saat ini. Sekalipun kamu merasa bahwa berpikir akan masa depan terutama dalam menjalin rumah tangga, dapat dibilang terlalu dini, namun saya dapat melihatnya sebagai suatu persiapan yang baik, karena siapa pun tentunya menginginkan masa depan yang cerah.
Dalam setiap momen kehidupan, tidak dipungkiri bahwa seseorang akan menghadapi pasang dan surut. Terkadang kita akan merasa bahagia, semangat, atau ceria dalam situasi tertentu, namun seketika bisa jadi kita akan merasa sedih, kecewa, atau pun kehilangan hanya dikarenakan pemantik kecil. Jika diperbolehkan, siapa pun ingin rasanya mengontrol keadaan sesuai dengan yang diinginkannya, kenapa? Karena hal ini akan membuat kita merasa lebih yakin, percaya diri, dan siap untuk setiap masalah yang terjadi.
Begitu pula halnya saat kamu mencemaskan masa depan, terlebih dalam urusan percintaan. Jika diizinkan, ingin rasanya meminta kepada Tuhan agar diberi kejelasan, "Siapa sebenarnya yang akan menjadi pendampingku di masa depan?", "Akankah ia bisa menerimaku apa adanya?".
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di dalam pikiranmu. Akan tetapi, jika kamu bersedia, cobalah bayangkan sejenak jika saat ini kamu sudah tahu tentang segala sesuatu yang telah diatur oleh-Nya. Lalu rasakan di dalam diri, mana yang lebih terasa nyaman antara:
• Saat kita berada di situasi yang penuh dengan rahasia, dibandingkan dengan
• Kita selalu tahu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mungkin awalnya, pilihan kedua akan terasa nyaman untuk seketika, tapi bayangkan jika kita terus menerus dipaparkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui sebelumnya. Sama halnya seperti menonton film, mungkin untuk satu atau dua film, rasanya nyaman jika sudah tahu bagaimana endingnya. Tetapi bagaimana jika kamu sudah mengetahui akhir ​dari setiap film yang akan kamu tonton, ​di mana lagi letak kenikmatan dari menonton film?​
Selain itu, saya ingin kamu menjawab di dalam hati akan satu pertanyaan ini, "Apakah Tuhan pernah bermaksud untuk menciptakan makhluknya sebagai sosok yang tidak menarik​?". Petanyaan seperti ini dimaksudkan agar kita dapat memberikan sedikit waktu untuk melihat diri kita secara utuh. Tinggi badan, warna kulit, besar kecilnya bola mata adalah bagian dari tubuh kita yang pada dasarnya tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan sifat tertentu.
Pada sebagian budaya, warna kulit gelap diidentifikasi sebagai sosok wanita yang menarik, namun berbeda halnya dengan budaya lain. Hal ini yang dalam ilmu psikologi disebut dengan skema. Skema adalah proses di dalam pikiran yang membantu seseorang untuk menginterpretasi, mengingat dan menggunakan informasi tentang dunia sekitarnya. Skema ini pun dipengaruhi oleh persepsi/pandangan. Oleh sebab itu, kita dapat mengetahui bahwa penilaian atau pun sikap seseorang terhadap kita merupakan pengaruh dari skema yang mereka miliki. Tentu saja, kita tidak dapat mengatur skema orang lain, begitu pula mereka terhadap skema kita.
Hal yang perlu dilakukan adalah ​mencintai dan menjadi diri sendiri​. Sebagaimana 'Be U' di dalam kata beautiful, berarti bahwa cantiknya seseorang tergantung pada kemauannya untuk menjadi diri sendiri. Saya sangat salut dengan kemampuan kamu dalam mengetahui kelebihanmu yang ceria, bisa menempatkan diri, dan tidak ingin memaksakan diri. Karena hal itu pula kamu dicintai oleh orang-orang di sekitarmu.
"Bolehkah diri ini menikmati setiap proses dan bersyukur?"
Di luar dari pembahasan di atas, hal yang terpenting adalah sudahkah kita memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menikmati setiap proses yang kita alami serta bersyukur? Kita ingin selalu bahagia, namun tidak bisa selalu merasakannya. Namun kita bisa menikmati setiap momen yang kita jalani.
"Bagaimana jika aku merasa cemas?"
Cobalah katakan kepada cemas, "​Hai cemas, aku mengizinkanmu berada di dalam diriku.. aku menerimamu, dan aku mencintaimu.. Namun setelah ini izinkan aku ya untuk bertemu dengan ketenangan, agar kita bisa sama-sama menjalani hari ini dengan bahagia."
Tidak lupa juga bersyukur akan setiap kenikmatan yang kamu rasakan, sekalipun udara yang kamu hirup, jalanan yang kamu tempuh setiap hari, serta orang-orang yang kamu temui. Karena kamu tidak akan pernah tahu apa pun yang terjadi di masa mendatang, maka mulailah bersahabat dan mensyukuri masa sekarang. Percayalah, setiap momen yang kamu syukuri saat ini akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah kamu sesali di masa depan.
Di samping poin-poin di atas, saya telah menuliskan beberapa pilihan yang dapat kamu lakukan untuk mengatasi permasalahan yang sedang kamu alami:
• Berlatih mengelola emosi dan pikiran yang menyertainya agar dapat membiasakan diri untuk berpikir positif. Salah satu cara yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan relaksasi sederhana. Ketika pikiran-pikiran yang mengganggu tersebut muncul (seperti ketakutan akan masa dengan, berpikir bahwa orang lain akan memandang diri ini rendah), kamu dapat mencoba mengikuti langkah-langkah dibawah ini:
• Ambillah posisi duduk yang nyaman di sekitar tempat kamu sedang beraktivitas.
• Hadirkan dirimu sepenuhnya untuk melakukan relaksasi, dan apabila telah siap silakan pejamkan mata dan mulailah menarik ​nafas ​panjang dan dalam, lalu hembuskan perlahan.. (lakukan sebanyak 3 kali).
• Fokuskan perhatian ke dalam diri dan sadari setiap aliran udara yang mengalir ke sekujur tubuh.. kini bernafaslah seperti biasa.
• Apabila kamu sudah dapat fokus dan memiliki kontrol penuh terhadap diri, mulailah mengucapkan hal-hal positif (boleh diucapkan di dalam atau di luar hati) kepada diri kamu. Contoh: "Aku mampu mengatasinya, aku siap menghadapi apa pun yang terjadi, semua akan berjalan baik-baik saja, orang-orang mencintai aku apa adanya."
• Ulangi secara terus menerus hingga kamu merasa tenang, dan perlahan-lahan gerakan jari-jari tangan dan kaki sambil membuka mata.
• Kamu juga dapat melakukan relaksasi sambil diiringi musik instrumental.
• Selipkan harapan-harapan positif dalam setiap doa agar diberikan masa depan dan rumah tangga seperti yang diharapkan. Sekalipun nantinya menemukan konflik, tapi yakinkan pada diri kamu bahwa: "Rumah tangga yang ​sehat bukan lah rumah tangga ​tanpa masalah​, rumah tangga yang ​sehat adalah rumah tangga yang ​mampu bangkit dan menyelesaikan masalah."
Sehingga mintalah kepada-Nya agar senantiasa diberikan kekuatan untuk terus bangkit dan menyelesaikan masalah-masalah di masa kini maupun mendatang.
Harapannya, melalui sedikit informasi dan masukan-masukan yang saya berikan di atas, kamu dapat lebih percaya diri melalui penerimaan dan penghargaan terhadap diri sendiri, sehingga kamu tidak terlalu terganggu oleh pendapat orang lain. Saya percaya bahwa kamu adalah wanita yang mampu untuk menemukan potensi dan kelebihan yang kamu miliki sehingga dapat menjadi diri sendiri. Tetap semangat ya.
Terima kasih telah berbagi.
Salam,
Pijar Psikologi

Memaafkan diri sendiri


Sudahkah Anda Memaafkan Diri Sendiri?
Selama kita hidup, pasti kita pernah melakukan suatu kesalahan yang disengaja maupun tidak. Respon terhadap kesalahan yang kita lakukan sangat beragam; misalnya kesal, marah, merasa bersalah, menyesal maupun benci terhadap diri sendiri. Meskipun sangat penting untuk memaafkan orang lain (Compton & Hoffman, 2013), kapasitas untuk mampu memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) memiliki posisi yang sangat krusial terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Memaafkan merupakan kebutuhan demi keberlanjutan eksistensi diri. Dengan memaafkan, seseorang dapat memperbaiki relasi dan membangun kembali dukungan sosialnya serta meregulasi emosi negatif yang dimiliki (McCullough, 2000; Emmons, 2005; dalam Compton & Hoffman, 2013). Memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) adalah proses untuk melepas segala bentuk kebencian dan rasa sakit hati terhadap kesalahan atau pelanggaran diri sendiri.
Unforgiveness didefinisikan oleh Worthington dan rekan-rekannya (dalam Worthington, 2005) sebagai kombinasi dari emosi-emosi negatif yang tertunda. Emosi-emosi tersebut terdiri dari kebencian, kepahitan, rasa bermusuhan, kedengkian, rasa marah dan rasa takut terhadap stresor. Ketidakmampuan untuk memaafkan ini dinilai sebagai respon stres yang mengandung potensi adanya konsekuensi buruk terhadap kesehatan seseorang. Memaafkan dapat dilihat sebagai cara untuk mengatasi unforgiveness. Memaafkan tidak hanya dipandang sebagai kondisi berkurangnya unforgiveness yang tampak dari pikiran-pikiran, emosi-emosi, motivasi, dan perilaku terhadap penyebabnya, melainkan juga bertambahnya emosi dan perspektif positif seperti empati, harapan, atau belas kasihan.
Literatur yang lain (Durham, 2000) menyebutkan bahwa memaafkan merupakan proses awal menimbang ulang suatu perspektif yang lebih positif. Memaafkan dipandang sebagai proses intrinsik dan bagian positif dari kedukaan. Artinya, apabila kita sedang merujuk pada memaafkan diri sendiri, seseorang mengalami proses berkurangnya emosi negatif dan bertambahnya emosi serta perspektif positif terhadap diri sendiri. Ketika kita merasa bahwa diri kita melakukan suatu kesalahan, kemudian kita bersedia untuk berproses menimbang ulang suatu perspektif mengenai diri kita.
Ellis (Macaskill, 2012) menyebutkan bahwa seseorang yang sedang bergumul dengan self-forgiveness biasanya khawatir tentang tanggapan dan penilaian orang lain terhadap kesalahannya. Salah satu contoh pikiran otomatis yang dapat dibangun adalah, "Saya telah berbuat kesalahan dan saya mampu untuk memperbaikinya." Hal tersebut akan mendatangkan pengharapan bahwa seseorang akan memiliki pandangan yang lebih positif pada dirinya. Tentunya perlu disertai dengan keterampilan atau strategi yang tepat agar pikiran tersebut dapat ditransfer menjadi perilaku nyata yang realistis.

Proses Memaafkan Diri Sendiri
Untuk menjawab pertanyaan apakah kita sudah memaafkan diri sendiri, kita bisa mulai dengan mengenali proses memaafkan. Ada empat fase yang menandai adanya proses memaafkan yang dialami oleh individu, meliputi (Compton & Hoffman, 2013):

● Uncovering phase
Fase ketika seseorang mengeksplor dan merasakan marah, benci, atau kekesalan yang dapat berdampak negatif terhadap kehidupannya; baik kesehatan fisik, kondisi emosi, relasi dengan orang lain dan produktivitas kerja. Seseorang cenderung menghindari penyelesaian terhadap rasa marah atau penderitaan yang dialami.

● Decision phase
Fase di mana seseorang membuat pilihan untuk mencoba dan berkomitmen untuk memaafkan. Seseorang menyadari bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin untuk mencoba memaafkan meskipun terkadang sulit secara emosional.

● Work phase
Pada fase ini, seseorang mencoba untuk memaafkan dengan memikirkan kembali kejadian, menerima rasa sakit, dan memahami alasan dirinya melakukan sebuah kesalahan dengan penuh empati.

● Deppening phase
Fase terakhir ini, ditandai dengan kondisi di mana individu mencari makna secara mendalam dari rasa sakit yang dialami. Pemahaman bahwa orang lain juga mungkin saja melakukan kesalahan yang sama sehingga ia tidak merasa sendirian.
Melalui penjelasan di atas, kita dapat merenungkan dan mengevaluasi diri kita sendiri; pada fase manakah kita saat ini? Apakah kita mengalami fase pertama berulang kali tanpa bisa berlanjut pada fase selanjutnya? Atau sudahkah kita memutuskan untuk mengakhiri kebencian kita terhadap diri sendiri dan memperoleh makna dari peristiwa tidak menyenangkan yang telah terjadi?

Memaafkan dan Kesehatan
Ketidakmampuan memaafkan dapat menyebabkan dampak terhadap kesehatan; baik secara fisik, psikologis, perilaku dan sosial. Penelitian Seybold, dkk (dalam Worthington, 2005) menemukan bukti-bukti bahwa tekanan darah orang-orang yang tidak mampu memaafkan memiliki tekanan darah yang sama dengan orang-orang yang mengalami stres.
Ketidakmampuan memaafkan mengandung komponen emosi yang secara langsung atau tidak langsung mengarahkan seseorang pada isolasi sosial, yang berkaitan dengan resiko kesehatan (Cohen, Gottlieb & Underwood, dalam Worthington, 2005). Implikasi memaafkan diri sendiri lebih sulit dilakukan dibanding memaafkan orang lain, menyebabkan potensi distres dan dampak yang lebih buruk pada kesehatan (Macaskill, 2012) dan menurunnya kepuasan hidup.
Studi yang dilakukan oleh Macaskill (2012) menghasilkan data yang signifikan bahwa level ketidakmampuan memaafkan diri sendiri (self-unforgiveness) yang tinggi berkorelasi dengan kesehatan mental dan kepuasan hidup yang rendah.
Jadi, bersediakah Anda memaafkan diri Anda?



DETIK ITU

  Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yan...