Sinar sang
surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada
awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yang terlihat melintasi langit,
tak ada angin sejuk yang meraba dan membelai rambutku, hanya suhu panas yang
kurasakan. Yang terlihat di langit hanyalah matahari dan langit berwarna biru.
Ada yang mengeluh dan mencerca cuaca seperti ini. Adzan berkumandang dengan
merdunya terdengar di telinga setiap umat, suara terindah yang selalu kudengar
kala 5 waktu datang. Suara yang menggugah hati orang-orang mulia, mengajaknya
untuk terus menapaki jalan Allah SWT.
Adzan adalah
angin sejuk yang merambah ke hati dan pikiranku. Tak ada angin, Adzan pun jadi.
“Tika, bagaimana keadaanmu nak? Apa tidak merasa pusing
lagi?”. Ibuku bertanya
dengan suara lembut nan menyentuh relung hatiku, menambah sejuk hatiku. Oh,
ibuku yang kucintai, ibuku yang selalu menasihati aku untuk selalu menjadi seseorang yang baik, soleh dan
pintar. “Alhamdulillah baik bu, tika
sekarang akan memenuhi panggilan itu karena Allah.”. Ibuku sangat
perhatian padaku meskipun usiaku sudah 20 tahun. Selesai sholat dzuhur
berjamaah di masjid aku menyelesaikan tugas kuliahku, meskipun ini hari libur
aku tak akan membuang waktu ku. Aku akan pergunakkanya dengan sebaik-baiknya. Setelah tugas-tugasku kelar. Aku tidak lupa untuk makan dan meminum obat.
Iya benar kenapa ibuku selalu perhatian lebih ke aku. Karena aku mengidap
szikrofenia dan saat ini aku dalam masa berobat jalan. Ya memang penyakitku ini
terlihat mengawatirkan. Banyak yang mengira aku udah tidak punya nyali dan
tidak tangguh. Tetapi itu hanya perkiraan orang yang melihat hanya diluar saja.
Siapa yang tidak berjuang. Aku banyak berjuang demi kuliah, ibuku, dan
penyakitku ini beserta agamaku. Aku sakit karena sering melihat kakakku yang
sering melakukan maksiat dan dahulunya aku juga sering disuruh untuk melakukan
pacaran atau melakukan maksiat itu. Aku sering tidak tahan dengan
tingkah kakakku ini, ingin rasanya aku membawa ibuku pergi sejauh-jauhnya hingga
tak kita temukan lagi maksiat. Tapi Ibu selalu melarangku, Ibu selalu
menyuruhku sabar, sabar dan sabar. Menjadi orang yang sabar menghadapi pemuda bajingan, begitu tepatnya.
Kakakku yang sekarang bukan lagi kakakku yang dulu aku kenal. Dulu ia sangat
baik sekali, tapi semenjak Ayah meninggal Ia jadi Brutal seperti ini. Menjadi
pemuda pemabuk, dan suka main perempuan. Tak pernah Ia mendengarkan kata-kata
Ibu, Ia selalu melawan, Anak durhaka.
“uhuk, uhuk,
uhuk…” suara batuk Ibuku yang sudah lanjut usia berumur 56 tahun. “uhuk, uhuk,
uhuk…” suara batuk ibu membuat air mataku pecah tak tertahan lagi. Kali ini Ibu
angkat bicara “nak, kau menangis?” tanya Ibuku, aku tak mampu menjawab. “kenapa
kau menangis? Kamu ini seorang yang
pemberani, dan tak cengeng. Kenapa kamu harus menangis?” sanggah Ibu membuat
aku harus membendung air mata yang mengalir di tangan Ibuku. “uhuk, uhuk,
uhuk…” kali ini lebih keras. Sejenak ku menatap wajah Ibu yang meneteskan air
matanya, Ia berdiri di pintu dengan pisau di tangan kananya.
Permasalahanku dimulai dari ulah kakakku. Dia
mempunyai pacar dan selalu melakukan maksiat dengannya. Aku hanya bisa melihat
tertegun melihat keadaan itu. Dan di siang hari yang terik ini, aku telah
diperkenalkan oleh kakaku dengan seorang pemuda tampan. Kakak menyuruhku untuk
kencan dengannya. Karena aku agak labil, aku menurut saja apa kata kakakku.
“Tika kamu jalan saja sama si Noval” itu pinta kakakku. Aku hanya bisa
menurutinya. Tanpa pamit ke ibu dahulu. Aku dan Noval jalan menuju taman ria.
Awalnya memang baik-baik saja, tetapi sesaat kita pulang. Noval mengajakku ke
sebuah hotel. Hotel itu bernama MELATI, aku hanya bisa menurutinya. Akhirnya
akupun melakukan hal maksiat itu kepada Noval. Pulang dari itu akupun menangis
sejadi-jadinya. Karena sebelumnya belum pernah aku melakukan hal itu..
Aku merasa aku bukan seseorang
yang sesungguhnya. Aku ini siapa saat ini.
Keesokan
harinya saat aku dikampus ”Tika…”
teriak seorang gadis berjilbab berwarna biru muda, warna yang teduh. Ternyata
aku sangat mengenaknya. Seorang wanita yang aku melihat dan mendengar namanya.
“Zahra…!!!” teman satu fakultas denganku, anak seorang Dokter langganan Ayahku
dulu sekaligus sahabat karibnya. Zahra, wanita yang cantik, pintar, baik, dan
solehah. “Assalamualaikum Tika”,
“walaikumsalam, ada apa Zahra? Kenapa kamu menghampiriku? Aku sedang sibuk. “Aku mau mengajakmu ikut kajian!” “Bagaimana,
apakah kamu ingin ikut denganku?” Aku
pun menyanggupinya. Aku mengenal banyak hal dalam diskusi kali itu. Semua
tentang agama dijabarkan dan dijelaskan secara terperinci. Sebelumnya aku jadi
amat cinta sama si Noval. Walaupun banyak penjelasan dan cermah yang aku
dengar.
Keesokan harinya aku mendapatkan kabar yang amat
menggelegar. Noval yang katanya mencintaiku, ternyata dia sudah mempunyai istri
dan satu anak perempuan. Betapa terkejutnya diriku. Lemas dan layu badan ini
untuk menyangga. Akhirnya aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Ibuku hanya bisa
membantuku dan menanyakan penyebab aku lemas begini. Tetapi aku tidak bisa
bilang apa-apa.
Rabu, 12
November, 10.21 WIB, aku dibawah
oleh 2 orang body guard dan mengajak ku kesuatu tempat. Ternyata itu tempat
rumah sakit jiwa. Iya sekarang aku ditahan atau lebih tepatnya menjadi pasien
rumah sakit jiwa. Disana aku linglung dan lupa akan segala hal. Patah hati ini
membuat semua perasaanku kacau dan tak tangguh lagi. Hari demi hari kulewati di
tempat ini. Aku menemukan banyak teman yang sejenis denganku. Banyak pula
perawat dan dokter yang mendatangi, menanyaiku. Tiap hari pun aku diberi
obat-obatan yang banyak dan membuatku semakin tenang. Memang aku diberi obat
penenang disini. Di rumah sakit jiwa aku berusaha tegar dan selalu berdoa
semoga diberi kesembuhan oleh Allah SWT.
Ibuku selalu menjenguk ku dan selalu mendoakanku
akan musibah yang menimpa diriku ini. Sebulan telah berlalu aku sudah bisa
keluar dari tempat itu. Saksi bisu sebuah penyakit yang menimpaku. Aku harus
mampu bangkit. Aku perempuan tangguh. Aku dinyatakan bisa rawat jalan oleh
dokter. Sebulan sudah aku dikurung ditempat itu, aku tidak pernah ikut kajian
lagi. Sesaat aku rindu dengan teman-temanku, terutama Zahra.
Kamis, 13 Desember, 13.00. Sehabis sholat aku
diajak oleh Zahra untuk ikut kajian. Zahra menjemputku dengan mobilnya. Disana
aku belajar agama lagi. Belajar setapak demi setapak, mengikhlaskan semua yang
telah terjadi pada hidupku. Aku mau memulai perubahan dengan tidak mau
melakukan pacaran lagi. Tetapi banyak yang mencemooh aku. Aku dibilang hanya
pencitraan saja. Tak apalah dibilang begitu, tetapi aku tekat bulat untuk tidak
melakukan maksiat itu. Aku berusaha melupakan Noval. Berusaha memaafkan
kesalahan kakakku. Sejak berusaha untuk tobat, aku berusaha menjemput jodoh ku
dengan menunggu dan menunggunya dalam sabar dan doa. Aku memilih untuk
mengekost dekat dengan kampusku. Aku juga berjuang dengan sekuat tenaga untuk
melawan penyakitku. Kalau disaat penyakitku kambuh aku bisa berhalusinasi dan
delusi. Aku tidak mau penyakit itu muncul lagi dihidupku. Aku mendekatkan diri
kepadaNya.
Hari demi hari kulalui, banyak peristiwa terjadi
silih berganti. Sesaat aku teringat teman-teman yang berada didalam rumah sakit
jiwa. Banyak peristiwa yang mereka alami. Sehingga membuat dia jatuh dan
terguncang jiwanya. Misalnya Reni, ia terguncang saat rumahnya terbakar hebat
dan meluluh lantahkan rumah beserta isi dan anak-anaknya. Reni syok dan menjadi
gila karena kurangnya ikhlas dan keimanan yang dia punya. Ada lagi Tommy, dia
ditinggal Istrinya dan kedua anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia melakukan
mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Sesaat direhabilitasi di rumah
sakit jiwa, dia kesulitan untuk berjalan dan menelan makanannya. Ada teman aku
Sintya, dia kejiwaan kekurangan kebahagiaan di masa kecilnya. Ia seakan lupa
ingatan dan hanya ingat masa kecilnya. Dia selalu menyanyi lagu anak-anak dan
berperilaku selayaknya anak kecil. Itulah yang aku ingat teman-temanku selama
di dalam ruang rehabilitasi rumah sakit jiwa.
Senin, 17 Januari, 15.00 Aku pulang ke rumah. Aku buku pintu rumahku yang
seperti tak terawat lagi. Aku ucap salam, tak dijawab. Aku panggil Ibu, Ibu,
Ibu. Tak ada jawaban. Ku ulang lagi. Aku mendengar suara tangisan kecil dari
arah belakang, Aku berjalan ke belakang. Dan… Pemandangan yang mengerikan
kulhat di sudut ruangan, seorang pemuda kurus kering, mata cekung, rambut
panjang acak-acakan, dan tak memakai baju, hanya celana. Menekuk kakinya dan
memeluk lututnya, Ia terus menangis. “Kakak.” “kakak, kau kenapa? Ibu dimana?”
Aku bertanya berulang kali tetap tak Ia jawab. Baru Aku sadari bahwa kakakku
gila dan buta. Aku sedih. Aku bawa kakakku ke rumah sakit jiwa, tempat dimana aku dirawat dahulu. Aku
pergi ke rumah Zahra, Aku bertanya pada Zahra dimana Ibu. Dia hanya diam seribu
bahasa, hanya matanya yang berkaca-kaca. Aku harus tegar menghadapi semua ini.