Jumat, 14 Agustus 2020

DETIK ITU

 

Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yang terlihat melintasi langit, tak ada angin sejuk yang meraba dan membelai rambutku, hanya suhu panas yang kurasakan. Yang terlihat di langit hanyalah matahari dan langit berwarna biru. Ada yang mengeluh dan mencerca cuaca seperti ini. Adzan berkumandang dengan merdunya terdengar di telinga setiap umat, suara terindah yang selalu kudengar kala 5 waktu datang. Suara yang menggugah hati orang-orang mulia, mengajaknya untuk terus menapaki jalan Allah SWT.

Adzan adalah angin sejuk yang merambah ke hati dan pikiranku. Tak ada angin, Adzan pun jadi. “Tika, bagaimana keadaanmu nak? Apa tidak merasa pusing lagi?”. Ibuku bertanya dengan suara lembut nan menyentuh relung hatiku, menambah sejuk hatiku. Oh, ibuku yang kucintai, ibuku yang selalu menasihati aku untuk selalu menjadi seseorang yang baik, soleh dan pintar. “Alhamdulillah baik bu, tika sekarang akan memenuhi panggilan itu karena Allah.”. Ibuku sangat perhatian padaku meskipun usiaku sudah 20 tahun. Selesai sholat dzuhur berjamaah di masjid aku menyelesaikan tugas kuliahku, meskipun ini hari libur aku tak akan membuang waktu ku. Aku akan pergunakkanya dengan sebaik-baiknya. Setelah tugas-tugasku kelar. Aku tidak lupa untuk makan dan meminum obat. Iya benar kenapa ibuku selalu perhatian lebih ke aku. Karena aku mengidap szikrofenia dan saat ini aku dalam masa berobat jalan. Ya memang penyakitku ini terlihat mengawatirkan. Banyak yang mengira aku udah tidak punya nyali dan tidak tangguh. Tetapi itu hanya perkiraan orang yang melihat hanya diluar saja. Siapa yang tidak berjuang. Aku banyak berjuang demi kuliah, ibuku, dan penyakitku ini beserta agamaku. Aku sakit karena sering melihat kakakku yang sering melakukan maksiat dan dahulunya aku juga sering disuruh untuk melakukan pacaran atau melakukan maksiat itu. Aku sering tidak tahan dengan tingkah kakakku ini, ingin rasanya aku membawa ibuku pergi sejauh-jauhnya hingga tak kita temukan lagi maksiat. Tapi Ibu selalu melarangku, Ibu selalu menyuruhku sabar, sabar dan sabar. Menjadi orang yang sabar menghadapi pemuda bajingan, begitu tepatnya. Kakakku yang sekarang bukan lagi kakakku yang dulu aku kenal. Dulu ia sangat baik sekali, tapi semenjak Ayah meninggal Ia jadi Brutal seperti ini. Menjadi pemuda pemabuk, dan suka main perempuan. Tak pernah Ia mendengarkan kata-kata Ibu, Ia selalu melawan, Anak durhaka.

“uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk Ibuku yang sudah lanjut usia berumur 56 tahun. “uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk ibu membuat air mataku pecah tak tertahan lagi. Kali ini Ibu angkat bicara “nak, kau menangis?” tanya Ibuku, aku tak mampu menjawab. “kenapa kau menangis? Kamu ini seorang yang pemberani, dan tak cengeng. Kenapa kamu harus menangis?” sanggah Ibu membuat aku harus membendung air mata yang mengalir di tangan Ibuku. “uhuk, uhuk, uhuk…” kali ini lebih keras. Sejenak ku menatap wajah Ibu yang meneteskan air matanya, Ia berdiri di pintu dengan pisau di tangan kananya.

Permasalahanku dimulai dari ulah kakakku. Dia mempunyai pacar dan selalu melakukan maksiat dengannya. Aku hanya bisa melihat tertegun melihat keadaan itu. Dan di siang hari yang terik ini, aku telah diperkenalkan oleh kakaku dengan seorang pemuda tampan. Kakak menyuruhku untuk kencan dengannya. Karena aku agak labil, aku menurut saja apa kata kakakku. “Tika kamu jalan saja sama si Noval” itu pinta kakakku. Aku hanya bisa menurutinya. Tanpa pamit ke ibu dahulu. Aku dan Noval jalan menuju taman ria. Awalnya memang baik-baik saja, tetapi sesaat kita pulang. Noval mengajakku ke sebuah hotel. Hotel itu bernama MELATI, aku hanya bisa menurutinya. Akhirnya akupun melakukan hal maksiat itu kepada Noval. Pulang dari itu akupun menangis sejadi-jadinya. Karena sebelumnya belum pernah aku melakukan hal itu.. Aku merasa aku bukan seseorang yang sesungguhnya. Aku ini siapa saat ini.

Keesokan harinya saat aku dikampus ”Tika…” teriak seorang gadis berjilbab berwarna biru muda, warna yang teduh. Ternyata aku sangat mengenaknya. Seorang wanita yang aku melihat dan mendengar namanya. “Zahra…!!!” teman satu fakultas denganku, anak seorang Dokter langganan Ayahku dulu sekaligus sahabat karibnya. Zahra, wanita yang cantik, pintar, baik, dan solehah. “Assalamualaikum Tika”, “walaikumsalam, ada apa Zahra? Kenapa kamu menghampiriku? Aku sedang sibuk. “Aku mau mengajakmu ikut kajian!” “Bagaimana, apakah kamu ingin ikut denganku?”  Aku pun menyanggupinya. Aku mengenal banyak hal dalam diskusi kali itu. Semua tentang agama dijabarkan dan dijelaskan secara terperinci. Sebelumnya aku jadi amat cinta sama si Noval. Walaupun banyak penjelasan dan cermah yang aku dengar.

Keesokan harinya aku mendapatkan kabar yang amat menggelegar. Noval yang katanya mencintaiku, ternyata dia sudah mempunyai istri dan satu anak perempuan. Betapa terkejutnya diriku. Lemas dan layu badan ini untuk menyangga. Akhirnya aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Ibuku hanya bisa membantuku dan menanyakan penyebab aku lemas begini. Tetapi aku tidak bisa bilang apa-apa.

Rabu, 12 November, 10.21 WIB, aku dibawah oleh 2 orang body guard dan mengajak ku kesuatu tempat. Ternyata itu tempat rumah sakit jiwa. Iya sekarang aku ditahan atau lebih tepatnya menjadi pasien rumah sakit jiwa. Disana aku linglung dan lupa akan segala hal. Patah hati ini membuat semua perasaanku kacau dan tak tangguh lagi. Hari demi hari kulewati di tempat ini. Aku menemukan banyak teman yang sejenis denganku. Banyak pula perawat dan dokter yang mendatangi, menanyaiku. Tiap hari pun aku diberi obat-obatan yang banyak dan membuatku semakin tenang. Memang aku diberi obat penenang disini. Di rumah sakit jiwa aku berusaha tegar dan selalu berdoa semoga diberi kesembuhan oleh Allah SWT.

Ibuku selalu menjenguk ku dan selalu mendoakanku akan musibah yang menimpa diriku ini. Sebulan telah berlalu aku sudah bisa keluar dari tempat itu. Saksi bisu sebuah penyakit yang menimpaku. Aku harus mampu bangkit. Aku perempuan tangguh. Aku dinyatakan bisa rawat jalan oleh dokter. Sebulan sudah aku dikurung ditempat itu, aku tidak pernah ikut kajian lagi. Sesaat aku rindu dengan teman-temanku, terutama Zahra.

Kamis, 13 Desember, 13.00. Sehabis sholat aku diajak oleh Zahra untuk ikut kajian. Zahra menjemputku dengan mobilnya. Disana aku belajar agama lagi. Belajar setapak demi setapak, mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada hidupku. Aku mau memulai perubahan dengan tidak mau melakukan pacaran lagi. Tetapi banyak yang mencemooh aku. Aku dibilang hanya pencitraan saja. Tak apalah dibilang begitu, tetapi aku tekat bulat untuk tidak melakukan maksiat itu. Aku berusaha melupakan Noval. Berusaha memaafkan kesalahan kakakku. Sejak berusaha untuk tobat, aku berusaha menjemput jodoh ku dengan menunggu dan menunggunya dalam sabar dan doa. Aku memilih untuk mengekost dekat dengan kampusku. Aku juga berjuang dengan sekuat tenaga untuk melawan penyakitku. Kalau disaat penyakitku kambuh aku bisa berhalusinasi dan delusi. Aku tidak mau penyakit itu muncul lagi dihidupku. Aku mendekatkan diri kepadaNya.

Hari demi hari kulalui, banyak peristiwa terjadi silih berganti. Sesaat aku teringat teman-teman yang berada didalam rumah sakit jiwa. Banyak peristiwa yang mereka alami. Sehingga membuat dia jatuh dan terguncang jiwanya. Misalnya Reni, ia terguncang saat rumahnya terbakar hebat dan meluluh lantahkan rumah beserta isi dan anak-anaknya. Reni syok dan menjadi gila karena kurangnya ikhlas dan keimanan yang dia punya. Ada lagi Tommy, dia ditinggal Istrinya dan kedua anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia melakukan mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Sesaat direhabilitasi di rumah sakit jiwa, dia kesulitan untuk berjalan dan menelan makanannya. Ada teman aku Sintya, dia kejiwaan kekurangan kebahagiaan di masa kecilnya. Ia seakan lupa ingatan dan hanya ingat masa kecilnya. Dia selalu menyanyi lagu anak-anak dan berperilaku selayaknya anak kecil. Itulah yang aku ingat teman-temanku selama di dalam ruang rehabilitasi rumah sakit jiwa.

Senin, 17 Januari, 15.00 Aku pulang ke rumah. Aku buku pintu rumahku yang seperti tak terawat lagi. Aku ucap salam, tak dijawab. Aku panggil Ibu, Ibu, Ibu. Tak ada jawaban. Ku ulang lagi. Aku mendengar suara tangisan kecil dari arah belakang, Aku berjalan ke belakang. Dan… Pemandangan yang mengerikan kulhat di sudut ruangan, seorang pemuda kurus kering, mata cekung, rambut panjang acak-acakan, dan tak memakai baju, hanya celana. Menekuk kakinya dan memeluk lututnya, Ia terus menangis. “Kakak.” “kakak, kau kenapa? Ibu dimana?” Aku bertanya berulang kali tetap tak Ia jawab. Baru Aku sadari bahwa kakakku gila dan buta. Aku sedih. Aku bawa kakakku ke rumah sakit jiwa, tempat dimana aku dirawat dahulu. Aku pergi ke rumah Zahra, Aku bertanya pada Zahra dimana Ibu. Dia hanya diam seribu bahasa, hanya matanya yang berkaca-kaca. Aku harus tegar menghadapi semua ini.

CiCi

 

Perkenalkan Namanya cici. Dia hidup berdua dengan ayahnya, ibunya telah meninggal kecelakaan 2 tahun yang lalu. Dia sering sedih sendiri semenjak ditinggalkan ibunya. Cici duduk dibangku smp kelas 3. Dia tidak mempunyai teman sama sekali dia kebanyakan dirumah Bersama ayahnya. Cici bangun tiap pagi  dengan bangun badannya tdk enak semua. Emang cici dilanda depresi sejak kelas 1 smp. Ayahnya memasakan tahu bulat ke cici sore itu. Cici hanya merindukan ibunya. Cici menangis sepanjang hari, entah knp cici sedih sekali menangis melulu..

 

Cici tambah sedih hatinya setelah pertengkaran dengan ayahnya. Iya dibilang ayahnya kamu itu anak pungut, bukan anak mama papa. Jadi km jangan sedih sekali atas kematian mamamu itu sampai sampai km sakit sakitan begini. Tambah sedihlah cici. Dia harus mengadu ke sapa.

Cici ingin sekali mencari ayah dan ibu kandungnya. 

 

Cerita dia tertarik dengan ayah dan ibu kandungnya, dia pergi dengan tabungannya yg ia simpan selama ini untuk pergi ke Jakarta. Menurut kabar yg ada orang tua kandungnya tinggal di Jakarta dan ia kaya raya dan terkenal.

 

Gimana dengan ayah tirinya, ia tinggalkan begitu saja. 

Saat ke Jakarta ia memikirkan kenapa dia diberikan ke keluarga lain. Kenapa tidak diasuh sendiri. Antara sedih dan Bahagia dia merenung ingin bertemu orang tua kandungnya.

 

Ayah tiri mengikhlskan cici untuk pergi ke Jakarta, agar urusannya lancar.

 

Apa yg terjadi setelah sampai Jakarta. Dia tidak diakui orang tua kandungnya, dia diusir disuruh Kembali ke keluarga di kampungnya. Cici tidak menyangka karena dia anak haram dia jadi begitu nasibnya. Tidak diakui orang tua kandungnya sendiri.

 

 

Selidik punya selidik. Orang tua sahnya cici menikah legal dan punya anak perempuan. Dan itu jauh setelah peristiwa cici diasuh ortu tirinya. Semenjak saat itu cici Kembali ke kampung halaman dan mendampingi ayah tirinya. Toh selama ini yg biayai hidup cici si ayah. Ya akhirnya ayah dan cici rukun lagi.

JODOHKU DI TAHUN INI

 

Apa yang paling menyebalkan dari saat berkumpul dengan keluarga kalau bukan ditanya soal pernikahan. Sudah ada calonnya? Kapan mau menyusul adikmu? Jangan lama-lama loh nanti diambil orang. Ahh, aku hampir jenuh mendengarnya. Sekali dua kali masih bisa kusangkal dengan alasan versi aku, lama kelamaan menjawab dengan senyum pun sepertinya sudah tidak ampuh lagi. Ibu yang biasanya tenang-tenang saja pun sekarang mulai senang menyindir soal jodoh. Sekarang setiap kali pulang dari undangan teman atau kerabat, ibu akan segera bercerita tentang si ini yang sudah punya anak atau si itu yang sudah punya cucu. Rasanya semua orang sedang menerorku sekarang.

“Jodoh itu kan ditangan Allah, Bu”, aku mengeles lagi kali ini.

“Iya, dan akan tetap di tangan Allah kalau kamu tidak memintanya”, jawab ibu sambil menyemai tanaman hiasnya. Aku menyeruput teh pahit yang sudah hampir dingin ini. Pahit dan dingin, seperti hatiku. Wanita mana yang tidak ingin menikah, memiliki pasangan, menjadi istri sekaligus ibu. Aku tahu semua itu sangat menyenangkan. Ada banyak alasan mengapa aku belum ingin menikah sampai di usia penghujung kepala dua ini. Ketiga kakakku sudah menikah dan rumah tangga mereka tampaknya tidak berjalan mulus. Kak Rin ditinggal suaminya yang harus mengabdi menjadi guru di daerah tertinggal, terpaksa ia membuka kios kue kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kak Hani dengan ikhlasnya rela dimadu oleh suaminya dengan alasan menolong janda beranak empat yang terlantar. Dan yang diatasku, Kak Amia sepertinya menikmati penderitaan hidupnya dengan suami yang berpenghasilan lebih kecil daripada dirinya. Mereka bertiga sebenarnya tidak pernah mengeluh, malah sebaliknya. Tapi bagiku, apalah enaknya menjalani rumah tangga seperti itu. Dan yang paling menyesakkan adalah saat adikku, Rasti memilih untuk melangkahiku. Dia cukup berani mengambil keputusan itu.

Aku pamit kepada ibu dan segera berangkat ke kantor. Aku bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah keluarga. Sekarang kantorku mendadak ikut menerorku juga, karena rekan-rekan di kantor senang meledekiku “Editor di majalah keluarga kok belum bekeluarga sih?”, begitu kata mereka. Sebenarnya ledekan itu sudah menjadi barang biasa di kantorku tapi akunya saja yang sedang sensitif mendengarnya.

“Kenapa, Wa? Masih galau soal yang kemarin lagi?”, Della menghampiri mejaku sambil memberikan tulisan yang akan ku edit. Aku mengangguk. Della adalah sahabatku sejak di bangku kuliah, dan dia tahu betul permasalahanku ini. Della bukan tak perduli, tapi ia mengerti sifatku yang tak suka dicampuri soal urusan pribadi. Ujung-ujungnya dia cuma akan menasehatiku untuk memperbaiki diri. Maklumlah, Della yang memiliki suami seorang ustadz itu selalu menyurhku untuk meningkatkan ibadah jika ingin mencari jodoh yang baik.

“Sholatku sudah tidak bolong-bolong lagi kok, Del”, terangku padanya. Della menarik kursinya dan duduk di sebelahku.

“Kamu coba deh tambah dengan amalan sunnah, kayak sholat Dhuha. Karena sholat Dhuha akan melancarkan rezeki seseorang. Termasuk soal jodoh”. Kali ini perkataan Della kumasukkan dalam hati. Benar, mungkin yang wajib saja tidak cukup, mungkin Allah menginginkanku untuk lebih dekat lagi pada-Nya.

“Dan satu lagi! Jangan banyak milih, cantik…”, Della menjawil hidungku. Dia segera menarik kursi menuju meja kerjanya. Della ini sok tau! Aku tidak banyak memilih kok. Tapi aku tidak ingin merasakan apa yang dirasakan ketiga kakakku, jadi wajar saja aku lebih selektif dalam memilih pasangan. Aku ingin seorang lelaki yang pintar untuk menjadi ayah bagi anak-anakku kelak, aku juga ingin lelaki yang berpenghasilan mapan karena kelak aku tidak ingin menjadi ibu dan istri yang sibuk bekerja sampai meninggalkan kewajibanku. Lebih baik aku menjadi ibu rumah tangga saja, tak apa tak berkarir asal dia mampu menghidupi keluarga. Hemm, aku juga tak ingin yang terlalu tua walaupun aku tahu lebih besar kemungkinanku untuk medapatkan yang tua ketimbang yang masih muda. Maklumlah, resiko lama menikah. Tapi adakah yang sepaket lengkap seperti ini? Aku tak begitu yakin sebenarnya.

Saran Della mulai kujalankan. Mulanya memang malas-malasan untuk mengerjakan sholat Dhuha yang hanya dua rakaat itu. Tapi aku tahu ini pasti pekerjaan setan yang menggodaku untuk bermalas-malasan sehingga semakin menjauhkan aku dari impianku. Dengan segenap hati kuangkat takbir menyerahkan diri kepada Rabb-ku. “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu kegelisahan ini. Dan Engkau tahu yang terbaik untukku”, batinku manakala berdoa selesai sholat Dhuha. Dengan tidak segan kucurahkan semua kegalauanku kepada-Nya, tak malu pula aku pintakan jodoh yang sesuai dengan impianku. Toh, Allah menyuruh kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, lantas apa salahnya kupinta seseorang itu?

Seminggu saja kujalankan, rasanya ada yang berbeda dengan hidupku. Lebih lapang, lebih tenang, lebih nyaman, lebih… Ahh, lebih baik coba rasakan sendiri. Soal jodoh itu pun tak ku pusingkan lagi karena semakin lama semakin ku pasrahkan kehadirat Allah Ta’ala.

Ini sudah hari kesepuluh kuamalkan sholat Dhuha dengan rutin. Belum selesai melipat mukena, Della yang baru siap berwudhu menghampiriku. Dia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan daerah. Katanya ia harus bertemu temannya, seorang dosen sekaligus praktisi bidang psikologi yang akan diminta untuk mengisi rubrik konsultasi keluarga di majalah kami. Aku mengiyakan saja, mumpung aku sedang tidak ada kerjaan karena editanku sudah kuserahkan kepada redaktur barusan.

Selepas Della sholat, kami segera berangkat dengan mobilnya ke perpustakaan daerah. Jalanan sedikit macet, aku menggerutu dalam hati.“Aneh sekali, ketemuan di tempat lain saja kenapa rupanya?”. Aku bertanya tentang calon pengisi rubrik ini. Kata Della namanya Hana, teman kecilnya dulu. Mengambil S1 dan S2 di luar negeri kemudian kembali ke tanah air dan memilih menjadi dosen sekaligus praktisi. Hana pasti sangat cerdas. Ya, aku beberapa kali mendengar cerita soal temannya yang bernama Hana dari Della dan aku pikir mereka memang cukup dekat hanya saja baru kali ini aku berkesempatan menemuinya.

Sesampai di perpustakaan yang ditunggu belum tiba. Jadilah aku dan Della yang suka melahap buku ini menjelajahi isi perpustakaan. Hampir lima belas menit kemudian barulah Della dihubungi oleh Hana kalau ia baru saja sampai. Della segera menemuinya sedangkan aku masih asyik dengan bacaanku. Tak lama berselang, Della memanggilku.

“Yang mana Hana?”, tanyaku sambil melihat sekeliling perpustakaan yang sepi. Tak ada sosok wanita di sekitar sini. Della tertawa.

“Ini Hana, lengkapnya Hanafi. Aku terbiasa memanggil nama kesayangan ibunya itu”

Mataku membelalak. Bukan karena tak percaya bahwa Hana yang dimaksud adalah lelaki, tetapi sosok Hanafi ini seperti…seperti… Seperti jodoh yang aku pinta! Ya Allah, inikah sepaket lengkap yang sempat kuragukan keberadaannya itu? Inikah orangnya? Hanafi tersenyum kepadaku. Ia mengenalkan dirinya sambil menangkupkan tangan di dada. Aku membalas dengan cara yang sama. “Hilwa”, kataku.

Sepanjang pembicaraan Della dan Hanafi, aku lebih banyak diam. Ribuan pertanyaan menggebu-gebu di dalam pikiranku. Inikah jawaban dari sepuluh Dhuha ku? Hanafi kah orangnya? Bagaimana mungkin ada orang sesempurna pintaku? Tapi siapa Hanafi? Bagaimana kalau dia sudah menikah? Ahh, perasaan apa ini. Mungkin Hanafi pun tak tertarik melihatku. Dia masih terlihat sangat muda, gagah dan… sedikit tampan. Ehm, bukan. Tapi memang cukup tampan. Ya, Allah… bagaimana ini?

Aku mengaduk teh dalam gelas lagi. Kali ini teh manis yang hangat. Seperti suasana hatiku yang sedang dipenuhi kemanisan dan kehangatan. Tangan yang kekar melingkar di bahuku dengan penuh kelembutan. Dia menggelayut manja sementara aku kegelian. Aku memukul tangannya dan dia menjerit pelan.

“Jangan marah-marah dong, nanti cepat tua”, katanya.

“Memang aku sudah tua”, jawabku pura-pura ketus. Hanafi tertawa lepas.

Sejatinya aku memang lebih tua darimu, Mas… Mas Hanafi. Sejak pertemuan kita hari itu kau tahu? Aku semakin memperbanyak rakaat sholat Dhuhaku. Di tengah malam kutambah lagi dengan Tahajjud yang panjang dan penuh cucuran airmata. Saat itu aku merasa Allah sedang menunjukkan kepadaku bahwa aku tak boleh meragukan-Nya. Aku menangis di sepertiga malam memohon ampun karena sempat meragu dengan kedatangan jodohku, tak lupa ku pintakan jalan keluar karena hati ini terlanjur terpikat padamu.

Tak ada lagi cerita tentang dirimu dari Della, sedang aku malu berkata. Sampai hari itu, dua bulan setelah pertemuan kita kau datang mengutarakan niatmu untuk melamarku. Di depan orangtuaku kau tunjukkan kesahajaanmu yang pada akhirnya meyakinkan mereka untuk menerima dirimu sebagai menantu. Kau tahu? Itu adalah sholat Dhuha ke-93 yang aku laksanakan. Dan hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku.

“Masih suka menghitung sholat Dhuhamu?”, tanya mas Hanafi. Dia sepertinya suka saat mendengar cerita Della tentang perjuanganku menjemput jodoh. Terutama cerita tentang sepuluh dhuha itu. Sepuluh hari dengan sholat Dhuha yang mengantarkan pada pertemuan pertama kami.

Mas, akan ada seratus, seribu bahkan sejuta Dhuha lagi. Bukan untuk meminta yang lebih baik lagi darimu, tapi meminta engkau dan aku yang lebih baik. Untuk kehidupan kita yang lebih indah, di bawah naungan keridhoan Allah.

Jika sepuluh Dhuha itu bisa memberikanku kebahagiaan seperti ini, maka aku berkenan untuk terus melaksanakannya lagi ya Rabb.

DETIK ITU

  Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yan...