JODOHKU DI
TAHUN INI
Apa yang paling menyebalkan dari
saat berkumpul dengan keluarga kalau bukan ditanya soal pernikahan. Sudah ada
calonnya? Kapan mau menyusul adikmu? Jangan lama-lama loh nanti diambil orang.
Ahh, aku hampir jenuh mendengarnya. Sekali dua kali masih bisa kusangkal dengan
alasan versi aku, lama kelamaan menjawab dengan senyum pun sepertinya sudah
tidak ampuh lagi. Ibu yang biasanya tenang-tenang saja pun sekarang mulai
senang menyindir soal jodoh. Sekarang setiap kali pulang dari undangan teman
atau kerabat, ibu akan segera bercerita tentang si ini yang sudah punya anak
atau si itu yang sudah punya cucu. Rasanya semua orang sedang menerorku
sekarang.
“Jodoh itu kan ditangan Allah, Bu”,
aku mengeles lagi kali ini.
“Iya, dan akan tetap di tangan Allah
kalau kamu tidak memintanya”, jawab ibu sambil menyemai tanaman hiasnya. Aku
menyeruput teh pahit yang sudah hampir dingin ini. Pahit dan dingin, seperti
hatiku. Wanita mana yang tidak ingin menikah, memiliki pasangan, menjadi istri
sekaligus ibu. Aku tahu semua itu sangat menyenangkan. Ada banyak alasan
mengapa aku belum ingin menikah sampai di usia penghujung kepala dua ini.
Ketiga kakakku sudah menikah dan rumah tangga mereka tampaknya tidak berjalan
mulus. Kak Rin ditinggal suaminya yang harus mengabdi menjadi guru di daerah
tertinggal, terpaksa ia membuka kios kue kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari. Kak Hani dengan ikhlasnya rela dimadu oleh suaminya dengan
alasan menolong janda beranak empat yang terlantar. Dan yang diatasku, Kak Amia
sepertinya menikmati penderitaan hidupnya dengan suami yang berpenghasilan
lebih kecil daripada dirinya. Mereka bertiga sebenarnya tidak pernah mengeluh,
malah sebaliknya. Tapi bagiku, apalah enaknya menjalani rumah tangga seperti
itu. Dan yang paling menyesakkan adalah saat adikku, Rasti memilih untuk
melangkahiku. Dia cukup berani mengambil keputusan itu.
Aku pamit kepada ibu dan segera
berangkat ke kantor. Aku bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah
keluarga. Sekarang kantorku mendadak ikut menerorku juga, karena rekan-rekan di
kantor senang meledekiku “Editor di majalah keluarga kok belum bekeluarga
sih?”, begitu kata mereka. Sebenarnya ledekan itu sudah menjadi barang biasa di
kantorku tapi akunya saja yang sedang sensitif mendengarnya.
“Kenapa, Wa? Masih galau soal yang
kemarin lagi?”, Della menghampiri mejaku sambil memberikan tulisan yang akan ku
edit. Aku mengangguk. Della adalah sahabatku sejak di bangku kuliah, dan dia
tahu betul permasalahanku ini. Della bukan tak perduli, tapi ia mengerti
sifatku yang tak suka dicampuri soal urusan pribadi. Ujung-ujungnya dia cuma
akan menasehatiku untuk memperbaiki diri. Maklumlah, Della yang memiliki suami
seorang ustadz itu selalu menyurhku untuk meningkatkan ibadah jika ingin mencari
jodoh yang baik.
“Sholatku sudah tidak bolong-bolong
lagi kok, Del”, terangku padanya. Della menarik kursinya dan duduk di
sebelahku.
“Kamu coba deh tambah dengan amalan
sunnah, kayak sholat Dhuha. Karena sholat Dhuha akan melancarkan rezeki
seseorang. Termasuk soal jodoh”. Kali ini perkataan Della kumasukkan dalam
hati. Benar, mungkin yang wajib saja tidak cukup, mungkin Allah menginginkanku
untuk lebih dekat lagi pada-Nya.
“Dan satu lagi! Jangan banyak milih,
cantik…”, Della menjawil hidungku. Dia segera menarik kursi menuju meja
kerjanya. Della ini sok tau! Aku tidak banyak memilih kok. Tapi aku tidak ingin
merasakan apa yang dirasakan ketiga kakakku, jadi wajar saja aku lebih selektif
dalam memilih pasangan. Aku ingin seorang lelaki yang pintar untuk menjadi ayah
bagi anak-anakku kelak, aku juga ingin lelaki yang berpenghasilan mapan karena
kelak aku tidak ingin menjadi ibu dan istri yang sibuk bekerja sampai
meninggalkan kewajibanku. Lebih baik aku menjadi ibu rumah tangga saja, tak apa
tak berkarir asal dia mampu menghidupi keluarga. Hemm, aku juga tak ingin yang
terlalu tua walaupun aku tahu lebih besar kemungkinanku untuk medapatkan yang
tua ketimbang yang masih muda. Maklumlah, resiko lama menikah. Tapi adakah yang
sepaket lengkap seperti ini? Aku tak begitu yakin sebenarnya.
Saran Della mulai kujalankan.
Mulanya memang malas-malasan untuk mengerjakan sholat Dhuha yang hanya dua
rakaat itu. Tapi aku tahu ini pasti pekerjaan setan yang menggodaku untuk
bermalas-malasan sehingga semakin menjauhkan aku dari impianku. Dengan segenap
hati kuangkat takbir menyerahkan diri kepada Rabb-ku. “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau tahu kegelisahan ini. Dan Engkau tahu yang terbaik untukku”,
batinku manakala berdoa selesai sholat Dhuha. Dengan tidak segan kucurahkan
semua kegalauanku kepada-Nya, tak malu pula aku pintakan jodoh yang sesuai
dengan impianku. Toh, Allah menyuruh kita untuk berdoa dan meminta kepada-Nya,
lantas apa salahnya kupinta seseorang itu?
Seminggu saja kujalankan, rasanya
ada yang berbeda dengan hidupku. Lebih lapang, lebih tenang, lebih nyaman,
lebih… Ahh, lebih baik coba rasakan sendiri. Soal jodoh itu pun tak ku
pusingkan lagi karena semakin lama semakin ku pasrahkan kehadirat Allah Ta’ala.
Ini sudah hari kesepuluh kuamalkan
sholat Dhuha dengan rutin. Belum selesai melipat mukena, Della yang baru siap
berwudhu menghampiriku. Dia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan daerah.
Katanya ia harus bertemu temannya, seorang dosen sekaligus praktisi bidang
psikologi yang akan diminta untuk mengisi rubrik konsultasi keluarga di majalah
kami. Aku mengiyakan saja, mumpung aku sedang tidak ada kerjaan karena editanku
sudah kuserahkan kepada redaktur barusan.
Selepas Della sholat, kami segera
berangkat dengan mobilnya ke perpustakaan daerah. Jalanan sedikit macet, aku
menggerutu dalam hati.“Aneh sekali, ketemuan di tempat lain saja kenapa
rupanya?”. Aku bertanya tentang calon pengisi rubrik ini. Kata Della
namanya Hana, teman kecilnya dulu. Mengambil S1 dan S2 di luar negeri kemudian
kembali ke tanah air dan memilih menjadi dosen sekaligus praktisi. Hana pasti
sangat cerdas. Ya, aku beberapa kali mendengar cerita soal temannya yang
bernama Hana dari Della dan aku pikir mereka memang cukup dekat hanya saja baru
kali ini aku berkesempatan menemuinya.
Sesampai di perpustakaan yang
ditunggu belum tiba. Jadilah aku dan Della yang suka melahap buku ini
menjelajahi isi perpustakaan. Hampir lima belas menit kemudian barulah Della
dihubungi oleh Hana kalau ia baru saja sampai. Della segera menemuinya
sedangkan aku masih asyik dengan bacaanku. Tak lama berselang, Della
memanggilku.
“Yang mana Hana?”, tanyaku sambil
melihat sekeliling perpustakaan yang sepi. Tak ada sosok wanita di sekitar
sini. Della tertawa.
“Ini Hana, lengkapnya Hanafi. Aku
terbiasa memanggil nama kesayangan ibunya itu”
Mataku membelalak. Bukan karena tak
percaya bahwa Hana yang dimaksud adalah lelaki, tetapi sosok Hanafi ini
seperti…seperti… Seperti jodoh yang aku pinta! Ya Allah, inikah sepaket lengkap
yang sempat kuragukan keberadaannya itu? Inikah orangnya? Hanafi tersenyum
kepadaku. Ia mengenalkan dirinya sambil menangkupkan tangan di dada. Aku
membalas dengan cara yang sama. “Hilwa”, kataku.
Sepanjang pembicaraan Della dan
Hanafi, aku lebih banyak diam. Ribuan pertanyaan menggebu-gebu di dalam pikiranku.
Inikah jawaban dari sepuluh Dhuha ku? Hanafi kah orangnya? Bagaimana mungkin
ada orang sesempurna pintaku? Tapi siapa Hanafi? Bagaimana kalau dia sudah
menikah? Ahh, perasaan apa ini. Mungkin Hanafi pun tak tertarik melihatku. Dia
masih terlihat sangat muda, gagah dan… sedikit tampan. Ehm, bukan. Tapi memang
cukup tampan. Ya, Allah… bagaimana ini?
Aku mengaduk teh dalam gelas lagi.
Kali ini teh manis yang hangat. Seperti suasana hatiku yang sedang dipenuhi
kemanisan dan kehangatan. Tangan yang kekar melingkar di bahuku dengan penuh
kelembutan. Dia menggelayut manja sementara aku kegelian. Aku memukul tangannya
dan dia menjerit pelan.
“Jangan marah-marah dong, nanti
cepat tua”, katanya.
“Memang aku sudah tua”, jawabku
pura-pura ketus. Hanafi tertawa lepas.
Sejatinya aku memang lebih tua
darimu, Mas… Mas Hanafi. Sejak pertemuan kita hari itu kau tahu? Aku semakin
memperbanyak rakaat sholat Dhuhaku. Di tengah malam kutambah lagi dengan
Tahajjud yang panjang dan penuh cucuran airmata. Saat itu aku merasa Allah
sedang menunjukkan kepadaku bahwa aku tak boleh meragukan-Nya. Aku menangis di
sepertiga malam memohon ampun karena sempat meragu dengan kedatangan jodohku,
tak lupa ku pintakan jalan keluar karena hati ini terlanjur terpikat padamu.
Tak ada lagi cerita tentang dirimu
dari Della, sedang aku malu berkata. Sampai hari itu, dua bulan setelah
pertemuan kita kau datang mengutarakan niatmu untuk melamarku. Di depan
orangtuaku kau tunjukkan kesahajaanmu yang pada akhirnya meyakinkan mereka
untuk menerima dirimu sebagai menantu. Kau tahu? Itu adalah sholat Dhuha ke-93
yang aku laksanakan. Dan hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam
hidupku.
“Masih suka menghitung sholat
Dhuhamu?”, tanya mas Hanafi. Dia sepertinya suka saat mendengar cerita Della
tentang perjuanganku menjemput jodoh. Terutama cerita tentang sepuluh dhuha
itu. Sepuluh hari dengan sholat Dhuha yang mengantarkan pada pertemuan pertama
kami.
Mas, akan ada seratus, seribu bahkan
sejuta Dhuha lagi. Bukan untuk meminta yang lebih baik lagi darimu, tapi
meminta engkau dan aku yang lebih baik. Untuk kehidupan kita yang lebih indah,
di bawah naungan keridhoan Allah.
Jika sepuluh Dhuha itu bisa
memberikanku kebahagiaan seperti ini, maka aku berkenan untuk terus
melaksanakannya lagi ya Rabb.
TIPS DAN MOTIVASI
Dalam mengisi
lembaran sejarah kehidupan dunia ini marilah kita senantiasa bertaqwa kepada
Allah dengan melakukan semua perbuatan yang sesuai dengan jalan yang diridhoi
oleh Allah atau senantiasa berada pada jalan yang lurus yaitu agama Islam, dan
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang dan dimurkai Allah yang pada akhirnya
akan menjerumuskan diri kita pada kehinaan dan kesengsaraan akhirat.
Salah satu
perbuatan tidak disukai Allah adalah terburu-buru, contohnya adalah
terburu-buru dalam menjemput jodoh dengan cara melakukan pacaran. Contoh hal
yang dimurkai Allah adalah dengan melakukan pacaran. Remaja sekarang banyak
sekali melakukan pacaran tanpa sadar mengetahui efek buruk yang akan
didapatnya. Allah melarang sesuatu karena perbuatan itu tidak baik untuk
manusia itu sendiri.
Hanya dengan
berjalan pada jalan Allah, kita akan memperoleh rahmat, ni’mat, hidayah dan
karamah dari Allah SWT. Suatu derajat yang sangat didambakan oleh setiap insan
yang memiliki keimanan sempurna dan akhlaqul karimah. Derajat tinggi yang tiada
bandingannya yang diperoleh seseorang berkat kesholehan amal dan keikhlasannya
dalam beribadah.
"Jadikanlah
sabar dan solat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali orang-orang yang khusyuk." (Al-Baqarah:45)
Ambillah masa untuk mentadabbur
al-Quran. Ambillah waktu untuk menghayati hadis-hadis Nabi SAW. Kedua-dua ini
adalah sandaran asas utama untuk kita membina sebuah keluarga yang teguh
berpegang denganNya. Andai tajwid masih berterabur, pergilah belajar
memperbetulkan bacaan. Andai tidak pernah membelek hadis Nabi SAW, pergilah ke
majlis ilmu mendengar orang mengajar kitab. Kita bukan sekadar menunggu, tetapi
menjemput jodoh dengan mempersiapkan diri untuk menjadi pasangan yang terindah
buat jodoh kita kelak. Lelaki dan wanita persiapannya sama sahaja. Tidak ada
istilah wanita yang harus lebih bersiap sedia berbanding lelaki. Kedua-duanya
akan memegang amanah dan tanggungjawab masing-masing.
Sikap dan langkah yang diambil
Rasulullah patut dibanggakan dan menjadi contoh keimanan yang sempurna.
Rasulullah telah mempraktikkan perkataan beliau sendiri yaitu bahwa keimanan
seseorang belum sempurna hingga ia dapat mencintai saudaranya sebagaimana
mencintai dirinya sendiri. Andai masih rasa kurang agama di dada, belajar dan carilah
ilmu tersebut. Tingkatkan akhlak dan peribadi. Perlengkapkan diri dengan Fiqh
Wanita, Fiqh Kekeluargaan dan pelbagai Fiqh lagi. Andai kita tidak
menyibukkan diri dengan pencarian ilmu, takutilah kita akan 'disesatkan' oleh
serangan hawa nafsu.
Bagi yang belajar agama pula, jangan
sesekali merasakan diri sudah 'cukup' dengan ilmu agama yang ada di dada. Ilmu
yang dipelajari itu sebenarnya hanya sebagai 'kunci' sahaja. Andai ada kunci, tetapi tidak
berusaha membuka peti, takkan terbuka juga peti tersebut. Seperti itulah juga
orang yang belajar agama, selagi tidak diamalkan ilmu yang ada di dada, selagi
itulah tidak akan mampu untuk dia kuat menongkah arus ujian yang lebih berganda
dari orang yang tidak belajar agama. Selain itu, teruslah berdoa tanpa
jemu. Teruslah optimis berdoa tanpa merasa buruk sangka kepada Allah.