SIAPA
GERANGAN KAKEK ITU?
Lelaki itu menggigit bibir mengurangi ketegangan.
Tatapannya tetap pada pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta. Semestinya pesawat
tiba pada pukul 16.20 WIB.
Tapi menurut bagian informasi baru datang pukul17.00 WIB.
Ia memang pantas kesal, bukan karena lama menunggu, tapi justru, tapi karena
diburu waktu.
Pukul 17.05 WIB pesawat mendarat dan
beberapa saat kemudian penumpang keluar, namun yang ditunggu perempuan itu
belum juga terlihat. Ketika ia hubungi lewat HP, ternyata tidak aktif. Lelaki
itu mendengus pada angin, apalagi ketika ibunya menelepon dari rumah apa yang
dijemput sudah ketemu atau belum. Boro-boro ketemu, dengan suaranya saja belum.
Ia tidak bisa menjawab apa-apa selain merasakan ulu hatinya sakit karena terlampau
banyak menekan perasaan.
Sampai setengah enam, yang dijemput tidak juga datang. Padahal dalam pesan
singkat melalui BBM dan terakhir menelepon
langsung, ia akan datang
menggunakan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan 373 langsung dari Batam. Lelaki
itu kini tidak bisa bersuara lagi selain hanya menekan dada yang terasa semakin
sakit. Padahal pada orang yang dijemputnya itulah tergantung segala harapan.
“Sudah, kamu balik saja, mungkin dia terlambat datang ke bandara sehingga
tak terbawa dengan penerbangan 373,” saran ayahnya dari seberang sana melalui
HP yang selalu ia tatap dengan satu harapan, yang dijemputnya itu akan menghubungi
kenapa tidak jadi datang
dengan penerbangan 373.
Dengan langkah gontai ia keluar dari terminal
kedatangan, berdiri sebentar di antara kursi ruang tunggu, sebentar kemudian
mobil yang menjemputnya tiba. Ia duduk bersandar di jok belakang dan
menghempaskan segala beban tubuhnya.
“Langsung ke rumah, Non?” sopirnya minta kepastian.
Ia hanya menggangguk pelan tanpa kata-kata. Mobil meluncur meninggalkan bandara
Sandy tidak bisa melanjutkan alur ceritanya. Padahal
itulah bab terakhir dari novelnya yang akan dibuat sisipan sebuah majalah.
Sebagai penulis yang cukup kondang di kota ini, ia memang kerap dipesan tulisan
baik fiksi maupun tulisan lepas oleh beberapa majalah dan tabloid mingguan.
Tapi entah kenapa ketika akan menuntaskan novel selalu saja ada masalah. Ia
selalu merasa kehilangan mood dan
kehabisan kata-kata untuk membuat ending
ceritanya.
Cerita itu mengisahkan seorang kakek yang dianiaya oleh anak tirinya. Ia diperlakukan
kasar, tidak dihormati dan selalu tidak dianggap sebagai keluarga oleh anaknya.
Hingga suatu saat kakek kelelahan dan merasa sudah cukup untuk perlakuan anaknya
itu. Ia bertekad untuk mengakhiri nyawanya sendiri.
Pengetikan
naskah cerita fiksi ini terhenti, sesaat Sandy merasa ada orang mengintip dari
balik jendela. Tiba-tiba Sandy napasnya
sesak. Ia tak kuasa untuk berdiri bahkan sekedar memijit nomor telepon
sekalipun. Sandy ambruk tak jauh dari meja kerjanya. Ia meregang lalu diam.
Pingsan.
Saat Sandy pingsan, ia merasa bertemu dengan seorang
laki-laki buruk rupa. Wajahnya keriput dan penuh dengan bisul-bisul . Bahkan
dalam jarak lima meter saja sudah bisa tercium bau amis bercampur bau busuk.
Anehnya kendati berhadapan dengan orang sebau itu, Sandy tidak merasa mual
apalagi tergerak untuk meninggalkannya. Sebaliknya Sandy justru diam bahkan
seperti mempersilakan agar laki-laki buruk rupa itu duduk di sampingnya.
“Selamat sore, Sandy. Namamu Sandy, ya kan?” sapa
lelaki buruk rupa itu. Sandy mengangguk.
“Ya, selamat sore. Bapak ini siapa dan datang dari
mana? Kok tau nama saya,” Tanya Sandy membuka percakapan. Ia berusaha untuk
menyembunyikan keheranannya. Lelaki buruk rupa
itu menatapnya lebih lekat lalu duduk disebelah Sandy.
“Aku datang
dari jauh, San, sengaja datang
ke mari karena kau selalu memanggil-manggil namaku,” jelas lelaki buruk rupa
itu semakin membuat Sandy tertegun heran.
“Memanggil
kakek?”
“Ya, bukankah kau sedang merampungkan cerita tentang
seorang bapak tua yang malang, karena ia selalu hidup dianiaya anaknya sendiri.
Dan sekarang kau kehilangan kata-kata untuk mengakhiri ceritamu. Bukan begitu,
Sandy?”
“Ya, persis!” gumam Sandy.
“Pertemukan saja kakek tua itu dengan saudara yang
mengasihinya. Kau bisa mereka-reka,
mereka bertemu disaat peristiwa penganiayaan terjadi. Terakhir jangan lupa
cantumkan kemtian bukan karena teraniaya. Karena kakek meninggal karena
serangan jantung, bukan karena bunuh diri,” jelas lelaki buruk rupa itu panjang
lebar tanpa diminta. Sandy mengangguk tanda setuju. Akhir cerita seperti itu
bisa saja mengombang-ambingkan perasaan pembaca sekaligus selalu memungkinkan
terselip pertanyaan, benarkah sang Kakek meninggal teraniaya atau tidak.
Sandy siuman. Badannya terasa segar kini. Pikirannya juga
terasa lebih bebas sehingga ia benar-benar merasa siap untuk melanjutkan
ceritanya. Layar monitor masih menyala. Ketika melihat jam di dinding, Sandy
tersentak. Ternyata ia pingsan cukup lama, hampir dua jam. Dan selama pingsan ia hanya
bertemu dengan kakek buruk rupa dan bicaranya pun hanya sebentar. Tapi kenapa
hanya untuk mimpi sesingkat itu, ia pingsan hampr dua jam. Sandy cepat-cepat membuang gelisah
di hatinya, ia kini fokus
pada komputer dan menuliskan
akhir cerita “Siapa Gerangan Kakek itu”.
Hanya memerlukan waktu setengah jam, Sandy selesai
membuat ending ceritanya. Lalu ia baca dari awal lagi sekalian mengoreksi
kata-kata yang salah tulis dan logika kalimat yang tidak rasional. Keesokan
harinya ia telah muncul di redaksi majalah untuk menyerahkan naskahnya.
“Honornya cash
atau kita transfer?” Tanya Laskmi.
“Transfer saja,” balas Sandy
“By the way,
kau jadi ke Lombok?”
“Inshaa Allah!”
“Sekalian kau tulis kiprah perempuan Lombok antara
yang tradisional dan yang telah tersentuh modernitas,”usul Lasmi.
“Ok. Honor tulisan dibayar di muka,” Sandy bercanda.
“Of course.
Berapa kamu minta?”
“Forget it.
Aku balik dulu. Nanti aku kabari kapan tepatnya berangkat ke Lombok.”
Keluar
dari kantor redaksi, Sandy langsung ke toko buku. Ada beberapa novel yang perlu
ia beli. Keluar dari toko buku menyempatkan ke restoran cepat saji. Perutnya
sudah menantang, sejak dikantor redaksi kriuk-kriuk terus. Memang saatnya makan
siang dan kalau mau mengajak Laskmi.
Tetapi entah kenapa Sandy saat itu bawaannya ingin cepat-cepat balik.
Ketika menikmati makanan, tiba-tiba
matanya melihat seorang lelaki di seberang jalan. Ketika diperhatikan, Sandy
langsung tersentak, ternyata lelaki itu, ya lelaki di seberang sana adalah kakek buruk rupa yang bertemu dimimpi
saat ia pingsan kemarin. Sandy buru-buru menyudahi makanannya dan bergegas
keluar dari restoran cepat saji tersebut. Tetapi ketika ia menuruni tangga yang
menghubungkan dengan koridor sebelum persis di samping jalan, ia melihat orang bergerombol.
Sesaat kemudian mobil polisi datang, mengamankan suasana. Sandy tertegun tak
mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Matanya nanar mencari kakek buruk
rupa itu, tapi tetap tak juga ia temukan.
“Kasihan kakek-kakek itu, mati
mengenaskan tertabrak taksi,” celoteh seorang pedagang. Sandy tersentak.
Kakek-kakek tertabrak, “Jangan-jangan ia…”
Sandy bergegas menyeberang dan
menembus kerumunan orang. Memang baru saja terjadi tabrakan. Korbannya seorang
kakek-kakek yang tidak lain kakek buruk rupa itu. Sandy berdiri lemas tanpa
tulang. Lalu ia ambruk setelah menjerit memanggil kakek buruk rupa itu.
Sandy menolong korban dibantu
beberapa tetangga mengubur jasad kakek buruk rupa itu. Sandy merasa heran
dengan kehadiran kakek buruk rupa. Awalnya ia menyangkan hanya bertemu dalam
mimpi saja, saat ia pingsan, tapi kemudian ia bertemu langsung sehari setelah
mimpi itu terjadi. Beberapa hari kemudian Sandy bermimpi kembali sosok kakek
buruk rupa, ia mengucapkan terima kasih
Terciptalah puluhan novel, cerpen dan sajak, lahir
setelah pertemuan dengan kakek buruk rupa itu. Namun Sandy sekarang tidak
begitu bangga dengan karya-karyanya kendati banyak dipuja dimana-mana, bahkan
sering diundang untuk membagi pengalaman bagaimana proses kreatifnya itu. Sandy
tidak bangga, karena sekarang ia berkarya justru bukan sebagai pengarang
melainkan hanya mengetik rangkaian cerita yang didapat dari almarhumah kakek
buruk rupa tadi. Ia merasa telah menanggalkan title kepengarangnya dan berganti
hanya sebagai juru ketik, kendati dari situ ia mendapat kekayaan melimpah.
Sandy tak pasti dengan apa yang
telah terjadi. Allah memang Maha Pandai, dan aku maha pander. Ilmu manusia
hanya setitik air di lautan maha luas. Di hadapan-Mu, manusia itu kerdil, tidak
ada kuasa. Bahkan manusia sangat-sangat kerdil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar