Jumat, 23 Februari 2018

siapa gerangan kakek itu?



SIAPA GERANGAN KAKEK ITU?

Lelaki itu menggigit bibir mengurangi ketegangan. Tatapannya tetap pada pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta. Semestinya pesawat tiba pada pukul 16.20 WIB. Tapi menurut bagian informasi baru datang pukul17.00 WIB. Ia memang pantas kesal, bukan karena lama menunggu, tapi justru, tapi karena diburu waktu.
Pukul 17.05 WIB pesawat mendarat dan beberapa saat kemudian penumpang keluar, namun yang ditunggu perempuan itu belum juga terlihat. Ketika ia hubungi lewat HP, ternyata tidak aktif. Lelaki itu mendengus pada angin, apalagi ketika ibunya menelepon dari rumah apa yang dijemput sudah ketemu atau belum. Boro-boro ketemu, dengan suaranya saja belum. Ia tidak bisa menjawab apa-apa selain merasakan ulu hatinya sakit karena terlampau banyak menekan perasaan.
Sampai setengah enam, yang dijemput tidak juga datang. Padahal dalam pesan singkat melalui BBM  dan terakhir menelepon langsung, ia akan datang menggunakan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan 373 langsung dari Batam. Lelaki itu kini tidak bisa bersuara lagi selain hanya menekan dada yang terasa semakin sakit. Padahal pada orang yang dijemputnya itulah tergantung segala harapan.
“Sudah, kamu balik saja, mungkin dia terlambat datang ke bandara sehingga tak terbawa dengan penerbangan 373,” saran ayahnya dari seberang sana melalui HP yang selalu ia tatap dengan satu harapan, yang dijemputnya itu akan menghubungi kenapa tidak jadi datang dengan penerbangan 373.
Dengan langkah gontai ia keluar dari terminal kedatangan, berdiri sebentar di antara kursi ruang tunggu, sebentar kemudian mobil yang menjemputnya tiba. Ia duduk bersandar di jok belakang dan menghempaskan segala beban tubuhnya.
“Langsung ke rumah, Non?” sopirnya minta kepastian. Ia hanya menggangguk pelan tanpa kata-kata. Mobil meluncur meninggalkan bandara
Sandy tidak bisa melanjutkan alur ceritanya. Padahal itulah bab terakhir dari novelnya yang akan dibuat sisipan sebuah majalah. Sebagai penulis yang cukup kondang di kota ini, ia memang kerap dipesan tulisan baik fiksi maupun tulisan lepas oleh beberapa majalah dan tabloid mingguan. Tapi entah kenapa ketika akan menuntaskan novel selalu saja ada masalah. Ia selalu merasa kehilangan mood dan kehabisan kata-kata untuk membuat ending ceritanya.
Cerita itu mengisahkan  seorang kakek yang  dianiaya oleh anak tirinya. Ia diperlakukan kasar, tidak dihormati dan selalu tidak dianggap sebagai keluarga oleh anaknya. Hingga suatu saat kakek kelelahan dan merasa sudah cukup untuk perlakuan anaknya itu. Ia bertekad untuk mengakhiri nyawanya sendiri. 
Pengetikan naskah cerita fiksi ini terhenti, sesaat Sandy merasa ada orang mengintip dari balik jendela.  Tiba-tiba Sandy napasnya sesak. Ia tak kuasa untuk berdiri bahkan sekedar memijit nomor telepon sekalipun. Sandy ambruk tak jauh dari meja kerjanya. Ia meregang lalu diam. Pingsan.
Saat Sandy pingsan, ia merasa bertemu dengan seorang laki-laki buruk rupa. Wajahnya keriput dan penuh dengan bisul-bisul . Bahkan dalam jarak lima meter saja sudah bisa tercium bau amis bercampur bau busuk. Anehnya kendati berhadapan dengan orang sebau itu, Sandy tidak merasa mual apalagi tergerak untuk meninggalkannya. Sebaliknya Sandy justru diam bahkan seperti mempersilakan agar laki-laki buruk rupa itu duduk di sampingnya.
“Selamat sore, Sandy. Namamu Sandy, ya kan?” sapa lelaki buruk rupa itu. Sandy mengangguk.
“Ya, selamat sore. Bapak ini siapa dan datang dari mana? Kok tau nama saya,” Tanya Sandy membuka percakapan. Ia berusaha untuk menyembunyikan keheranannya. Lelaki buruk rupa  itu menatapnya lebih lekat lalu duduk disebelah Sandy.
“Aku datang dari jauh, San, sengaja datang ke mari karena kau selalu memanggil-manggil namaku,” jelas lelaki buruk rupa itu semakin membuat Sandy tertegun heran.
“Memanggil  kakek?”
“Ya, bukankah kau sedang merampungkan cerita tentang seorang bapak tua yang malang, karena ia selalu hidup dianiaya anaknya sendiri. Dan sekarang kau kehilangan kata-kata untuk mengakhiri ceritamu. Bukan begitu, Sandy?”
“Ya, persis!” gumam Sandy.
“Pertemukan saja kakek tua itu dengan saudara yang mengasihinya. Kau bisa mereka-reka, mereka bertemu disaat peristiwa penganiayaan terjadi. Terakhir jangan lupa cantumkan kemtian bukan karena teraniaya. Karena kakek meninggal karena serangan jantung, bukan karena bunuh diri,” jelas lelaki buruk rupa itu panjang lebar tanpa diminta. Sandy mengangguk tanda setuju. Akhir cerita seperti itu bisa saja mengombang-ambingkan perasaan pembaca sekaligus selalu memungkinkan terselip pertanyaan, benarkah sang Kakek meninggal teraniaya atau tidak.
Sandy siuman. Badannya terasa segar kini. Pikirannya juga terasa lebih bebas sehingga ia benar-benar merasa siap untuk melanjutkan ceritanya. Layar monitor masih menyala. Ketika melihat jam di dinding, Sandy tersentak. Ternyata ia pingsan cukup lama, hampir dua jam. Dan selama pingsan ia hanya bertemu dengan kakek buruk rupa dan bicaranya pun hanya sebentar. Tapi kenapa hanya untuk mimpi sesingkat itu, ia pingsan hampr dua jam. Sandy cepat-cepat membuang gelisah di hatinya, ia kini fokus pada komputer dan menuliskan akhir cerita “Siapa Gerangan Kakek itu”.
Hanya memerlukan waktu setengah jam, Sandy selesai membuat ending ceritanya. Lalu ia baca dari awal lagi sekalian mengoreksi kata-kata yang salah tulis dan logika kalimat yang tidak rasional. Keesokan harinya ia telah muncul di redaksi majalah untuk menyerahkan naskahnya.
“Honornya cash atau kita transfer?” Tanya Laskmi.
“Transfer saja,” balas Sandy
By the way, kau jadi ke Lombok?”
“Inshaa Allah!”
“Sekalian kau tulis kiprah perempuan Lombok antara yang tradisional dan yang telah tersentuh modernitas,”usul Lasmi.
“Ok. Honor tulisan dibayar di muka,” Sandy bercanda.
Of course. Berapa kamu minta?”
Forget it. Aku balik dulu. Nanti aku kabari kapan tepatnya berangkat ke Lombok.”
            Keluar dari kantor redaksi, Sandy langsung ke toko buku. Ada beberapa novel yang perlu ia beli. Keluar dari toko buku menyempatkan ke restoran cepat saji. Perutnya sudah menantang, sejak dikantor redaksi kriuk-kriuk terus. Memang saatnya makan siang dan kalau mau mengajak Laskmi. Tetapi entah kenapa Sandy saat itu bawaannya ingin cepat-cepat balik.
            Ketika menikmati makanan, tiba-tiba matanya melihat seorang lelaki di seberang jalan. Ketika diperhatikan, Sandy langsung tersentak, ternyata lelaki itu, ya lelaki di seberang sana  adalah kakek buruk rupa yang bertemu dimimpi saat ia pingsan kemarin. Sandy buru-buru menyudahi makanannya dan bergegas keluar dari restoran cepat saji tersebut. Tetapi ketika ia menuruni tangga yang menghubungkan dengan koridor sebelum persis di samping jalan, ia melihat orang bergerombol. Sesaat kemudian mobil polisi datang, mengamankan suasana. Sandy tertegun tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Matanya nanar mencari kakek buruk rupa itu, tapi tetap tak juga ia temukan.
            “Kasihan kakek-kakek itu, mati mengenaskan tertabrak taksi,” celoteh seorang pedagang. Sandy tersentak. Kakek-kakek tertabrak, “Jangan-jangan ia…”
            Sandy bergegas menyeberang dan menembus kerumunan orang. Memang baru saja terjadi tabrakan. Korbannya seorang kakek-kakek yang tidak lain kakek buruk rupa itu. Sandy berdiri lemas tanpa tulang. Lalu ia ambruk setelah menjerit memanggil kakek buruk rupa itu.
            Sandy menolong korban dibantu beberapa tetangga mengubur jasad kakek buruk rupa itu. Sandy merasa heran dengan kehadiran kakek buruk rupa. Awalnya ia menyangkan hanya bertemu dalam mimpi saja, saat ia pingsan, tapi kemudian ia bertemu langsung sehari setelah mimpi itu terjadi. Beberapa hari kemudian Sandy bermimpi kembali sosok kakek buruk rupa, ia mengucapkan terima kasih
            Terciptalah puluhan novel, cerpen dan sajak, lahir setelah pertemuan dengan kakek buruk rupa itu. Namun Sandy sekarang tidak begitu bangga dengan karya-karyanya kendati banyak dipuja dimana-mana, bahkan sering diundang untuk membagi pengalaman bagaimana proses kreatifnya itu. Sandy tidak bangga, karena sekarang ia berkarya justru bukan sebagai pengarang melainkan hanya mengetik rangkaian cerita yang didapat dari almarhumah kakek buruk rupa tadi. Ia merasa telah menanggalkan title kepengarangnya dan berganti hanya sebagai juru ketik, kendati dari situ ia mendapat kekayaan melimpah.
            Sandy tak pasti dengan apa yang telah terjadi. Allah memang Maha Pandai, dan aku maha pander. Ilmu manusia hanya setitik air di lautan maha luas. Di hadapan-Mu, manusia itu kerdil, tidak ada kuasa. Bahkan manusia sangat-sangat kerdil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DETIK ITU

  Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yan...